BAGIAN PERTAMA
SUMBER-SUMBER HUKUM
SYARIAT ISLAM (AL-ADILLATUL-AHKAM)
Penulis:
Prof. Dr. Mukhtar Yahya
Prof. Drs. Fatchur Rahman
Diresume
Marhajadwal, S.Ag
BAB I
PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN DALIL-DALIL SYARA’
A. Pengertian Dalil-dalil Syara’
Dalil adalah berasal dari bahasa Arab, artinya adalah “Sesuatu yang menunjukan hal-hal yang dapat ditanggap secara indrawi atau ditanggap secara ma’nawi.” Sedangkan para ahli ushul fiqh mengartikan, “Sesuatu yang dipergunakan sebagai petunjuk pandangan yang sehat untuk menetapkan hukum syara’ tentang amal perbuatan manusia secara qath’i (pasti) atau zhanni (dugaan keras). Perkataan adillatu ahkam sama pengertiannya dengan ushulul ahkam, yang artinya “Dasar-dasar hukum, dan sama dengan al-mashadirut-tasyiri’iyatu lil-ahkam, yaitu sumber-sumber pembuatan hukum.
B. Pembagian dalil-dali syara’
Ahli Ushul yang masyhur (jumhur ahli ushul) membagi dalil itu kepada dalil qath’I yaitu al-Qur’an dan Hadits Mutawatir dan dalil zhanni yaitu Hadits Ahad. Bukan membaginya kepada dalil dan amarah sebagaimana sebahagian kecil ahli ushul berpendapat. Dalil adalah sesuatu yang dimanfaatkan untuk menetapkan hukum syar’i-amali secara qath’i, sedangkan amarah dikhususkan kepada sesuatu yang dimanfaatkan untuk menetapkan hukum syar’i-amali secara zhanni.
BAB II
DALIL-DALIL SYARA’
YANG SUDAH DISEPAKATI
Dalil-dalil syara’ yang telah disepakati oleh jumhur ahli Ushul ada 4 (empat) macam berturut-turut, sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Al-Ijma
4. Al-Qiyas
Adapun sebagai dasar hukum, ketika beristidlal dengan 4 (empat) macam dalil hukum di atas ialah wawanccara Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal saat dilantik menjadi penguasa di negeri Yaman. Kata Rasulullah SAW. “Bagaimana caranya kamu memutusi perkara perkara yang dikemukakan padamu?” Kuhukumi dengan Kitab Allah,” jawabnya, “Jika kamu tidak mendapatkannya di dalam Kitab Allah, lantas bagaimana?, sambung Rasulullah SAW. “Dengan Sunnah Rasulullah SAW,” ujarnya. Jika tidak kamu temukan dalam Sunnah Rasulullah, lalu bagaimana?” tanya Rasul lebih lanjut, “Aku akan menggunakan ijtihad pikiranku dan aku tidak akan meninggalkannya,” jawabnya dengan tegas. Rasulullah SAW lalu menepuk dadanya seraya memuji, katanya: Alhamdulillah, Allah SWT telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sesuai dengan apa yang diridhai Allah dan Rasul-Nya (HR. Ahmad, Abu Daud dan at-Turmuzy)
Sumber hukum yang prinsip dalam perundang-undangan Islam yang telah disepakati oleh jumhur fuqaha ada 3 (tiga) macam, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah dan al-Ijtihad. Kemudian yang terakhir ini terbagi kepada dua macam. Yaitu ijtihad sekumpulan para ahli, yang hasil ijtihad mereka disebut ijma dan ijtihad pribadi. Dalam melakukan ijtihad mereka tidak terlepas dari memakai qiyad. Hasil dari ijtihad para ahli itu harus didahulukan daripada hasil ijtihad pribadi dalam pemakaiannya sebagak sumber hukum.
BAB III
DALIL-DALIL SYARA’
YANG MASIH DIPERSELISIHKAN
Selain 4 macam dalil-dalil syara’ (sumber hukum) tersebut di atas masih terdapat 6 (enam) macam dalil-dalil syara’ yang lain yang belum mendapat kesepakatan dari jumhur fuqaha, yaitu:
1. Al-Istihsan. Yaitu meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atau meninggalkan hukum kulli untuk menjalankan hukum istisna (pengecualian) disebabkan ada dalil yang menurut logika membenarkannya.
Berdasarkan definisi istihsan, maka nyatalah bahwa istihsan itu ada 2 (dua) macam
· Mentarjihkan qiyas yang tidak nyata atas qiyas yang nyata, berdasarkan suatu dalil. Ulama Hanafiyah menamakan istihsan semacam ini dengan istihsan qiyas atau qiyas khafi. Contohnya: Apabila seseorang yang berwakaf telah mewakafkan sebidang tanah pertaniannya, maka menurut istihsan, hak-hak yang bersangkutan dengan tanah itu, seperti hak mengairi, hak membuat saluran air dan lorong di atas tanah tersebut sudah tercakup dalam pengertian wakaf secara langsung, biarpun hak-hak itu tidak disebutkan dengan terperinci pada saat wakaf diucapkan.
· Mentarjihkan hukum juziyah dari hukum kulliyah dengan suatu dalil. Istihsan ini oleh ulama Hanafiyah disebut istihsan darurat. Sebab penyimpangan dari hukum kulli tersebut adalah karena darurat atau karena suatu kepentingan yang mengharuskan adanya penyimpangan dengan maksud untuk menghadapi keadaan yang mendesak atau menghindari kesulitan. Contohnya: Menurut aturan yang prinsip syara’ melarang mengatakan perikatan dan memperjualbelikan barang-barang yang belum ada pada saat perikatan terjadi. Tetapi menurut istihsan syara’ memberikan rukhsah muamalat tersebut dengan diperkenankan menjalankan salam (jual beli dengan pembayaran lebih dahulu, tetapi barangnya dikirim kemudian dan istishna’ (memesan untuk dibuatkan sesuatu atau jual beli secara inden)
2. Al-Mashlahah mursalah. Yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ suatu hukum untuk mewujudkan dan tidak pula terdapat suatu dalil syara’ yang memerintahkan untuk memperhatikannya atau mengabaikannya. Contohnya mengadakan lembaga pemasyarakatan, mencetak mata uang sebagai alat pertukaran resmi dari suatu negara.
3. Al-Istishhab. Yaitu menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang berubahnya. Dengan ungkapan lain istishhab adalah menjadikan hukum suatu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan hukum itu. Istishhab itu ada 2 (dua) macam, yaitu:
Pertama, istishhab kepada hukum akal dalam predikat ibahah atau baraatul ashliyah (Kemurniaan menurut aslinya). Misalnya Setiap makanan dan minuman yang tidak ditunjuk oleh suatu dalil yang mengharamkannya adalah mubah. Sebab Allah SWT menciptakan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini agar dapat dimanfaatkan oleh seluruh manusia.
Kedua, istishhab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada suatu dalil pun yang merubahnya. Misalnya hukum-hukum yang diciptakan oleh syara’ berdasarkan sebab-sebab tertentu. Karena itu apabila sebab-sebab itu diketahui dengan yakin, maka terciptalah suatu hukum dan hukum itu terus berlaku sampai ada suatu dalil yang membatalkannya. Contoh, seseorang berwudhu kemudian ia ragu apakah ia sudah batal atau belum, maka ia dihukumi sebagai orang yang masih dalam keadaan berwudhu, berdasarkan istishhab terhadap hukum suatu peristiwa yang mendahuluinya secara yakin.
4. Al-Uruf atau adat kebiasaan ialah apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh adat kebiasaan yang berupa perkataan (urf qauli) misalnya perkataan walad (anak) menurut bahasa sehari-hari hanya khusus bagi anak laki-laki saja, sedang anak perempuan tidak masuk dalam perkataan itu dan perkataan “lahm” (daging) dalam pembicaraan sehari-hari tidak mencakup ikan.
5. Madzahib shahabi. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama terhadap perkataan sahabat yang bukan berdasarkan pikiran semata-mata adalah menjadi hujjah bagi ummat Islam, karena apa yang menjadi perkataan sahabat itu tentu saja berdasarkan apa yang telah didengarnya dari Rasulullah SAW, kecuali perkataan sahabat yang semata-mata berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri dan para sahabat tidak dalam satu pendirian.
6. As-Syar’u man qablana.
Apabila al-Qur’an dan Hadits telah menerangkan suatu hukum yang disyari’atkan oleh Allah kepada umat sebelum umat Islam, lalu al-Qur’an atau Hadits mewajibkan pula kepada umat Islam sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak ada perselisihan lagi bahwa hukum tersebut adalah syari’at bagi kita dan sebagai hukum yang harus kita ikuti. Misalnya puasa di bulan Ramadhan.
Demikian juga, apabila al-Qu’an dan Hadits telah shaheh menerangkan suatu hukum untuk umat terdahulu, lalu datang dalil syara yang membatalkannya maka telah disepakati oleh seluruh ulama bahwa hukum itu bukanlah merupakan syara’ bagi kita.
Akan tetapi yang diperlisihkan adalah bila hukum yang diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya itu tidak ada nash yang menunjukan bahwa hal itu diwajibkan bagi kita sebagaimana halnya diwajibkan juga bagi mereka atau bahwa hukum itu telah dihapuskan. Contoh yang terdapat dalam firman Allah SWT yang artinya: “Oleh karena itu, kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani Israil bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh orang lain), atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia membunuh manusia semuanya (QS.Al-Maidah: 32)
Dalam persoalan ini, jumhur ulama Hanafiah, sebagian ulama Malikiyyah dan ulama Syafiiyyah memandangnya sebagai syari’at yang harus diikuti oleh orang Islam, sepanjang tidak ada dalil yang membatalkannya. Sebagian ulama menyatakannya bukan sebagai syari’at bagi umat Islam. Sebab syari’at kita menasakh (membatalkan) syari’at yang telah ditetapkan kepada umat sebelum kita keduali ada dalil yang menetapkannya sebagai syari’at Islam.
BAGIAN KEDUA
HAKIKAT DAN RUKUN-RUKUN HUKUM
BAB I
HAKIKAT HUKUM SYAR’I
Menurut ahli ushul fiqih, yang dikatakan hukum syar’i adalah khithab pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain. Berdasarkan ta’rif di atas, bahwa setiap khithab syar’i yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia bukan berhubungan dengan i’tikad atau akhlaq, yang menuntut agar dilakukan suatu perintah atau ditinggalkan suatu larangan atau yang memberikan pilihan antara mengerjakan dan meninggalkan atau yang menjadikan sesuatu itu menjadi sebab, syarat atau penghalang bagi sesuatu yang lain disebuat hukum syar’i. Misalnya firman Allah SWT:
ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4‘sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3
Artinya: ...dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan...(QS. Al-Ankabut: 45)
Adalah khithab syar’i yang menuntut agar sembahyang itu dikerjakan.
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw öy‚ó¡o„ ×Pöqs% `ÏiB BQöqs% #Ó|¤tã br& (#qçRqä3tƒ #ZŽöyz öNåk÷]ÏiB
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka…(QS. Al-Hujurat: 11)
Adalah khithab syar’i yang menuntut agar meninggalkan menghina suatu kaum.
÷bÎ*sù ÷LäêøÿÅz žwr& $uK‹É)ムyŠr߉ãn «!$# Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã $uK‹Ïù ôNy‰tGøù$# ¾ÏmÎ/ ß
Artinya: …jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya… (QS. Al-Baqarah: 229)
Adalah khithab syar’i perihal talak tebus atau talaq iwadh itu memberikan kebebasan kepada suami untuk memilih atau mengambil tebusan atau tidak.
BAB II
PEMBAGIAN HUKUM TAKLIFI
A. Hukum Taklifi Yang dimaksud dengan Taklifi adalah Khithab syari' yang mendandung tuntutan untuk dikerjakan oleh para mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau yang mengandung pilihan antara dikerjakan dan ditinggalkannya, oleh para ushuliyun disebut dengan hukum taklifi.
Adapun pembagian hukum taklifi sebagai berikut:
Ø Ijab
Ø Nadb
Ø Tahrim
Ø Karahah
Ø Ibahah
Berikut perbandingan pembagian hukum taklifi menurut ulama jumhur dengan ulama Hanafiyah.
Menurut Jumhur
Ø Ijab (wajib, fardhu)
Ø Nadb (mandub, sunnat
Ø Tahrim (haram)
Ø Karahan (makruh)
Ø Ibahah (mubah, jaiz halal
Menurut ulama Hanafiyah
· Fardhu, bila ditunjuk oleh dalil qathi
Wajib, bila ditunjuk oleh dalil dhanni
· Sunnat, bila selalu dikerjakan oleh Nabi, kecuali uzur
Mandub, bila banyak beliau tinggalkan daripada beliau kerjakan
· Tahrim, bila dilarang oleh dalil qathi
Karahah tahrim, bila ditunjuk oleh dalil zhanni
· Karaha-tanzih
Ibahah (mubah)
B. Hukum wadh'i
Yang dimaksud dengan hukum wadh'i ialah khithab syara' yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu adalah sebagai sebab, syarat atau penghalang sesuatu.
Contoh: Kemauan menjalankan shalat adalah menjadi sebab kewajiban berwudhu. Kesanggupan mengadakan perjalanan ke Baitullah adalah menjadi syarat wajibnya menunaikan haji. Berlainan agama antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi adalah menjadi penghalang pusaka mempusakai.
Adapun pembagian hukum wadh'i adalah sebagai berikut:
Ø Sebab. Yaitu sesuatu yang dijadikan pokok pangkal bagi adanya musabab (hukum). Sebab itu terbagi kepada 2 (dua) macam, yakni:
· Oleh Sebab untuk mewujudkan hukum taklifi. Seperti tergelincirnya matahari ke barat oleh syari' dijadikan sebab wajibnya sembahyang dhuhur.
· Sebab untuk menetapkan atau menghilangkan hak milik. Misalnya perikatan jual beli adalah sebagai sebab untuk menetapkan hak memiliki barang yang sudah dibeli oleh pembeli sebagai sebab hilangnya hak memiliki harta benda yang diperjualbelikan. Akad nikah adalah sebagai sebab halalnya berkumpul antara seorang laki-laki dengan seorang wanita.
Ø Syarat. Yaitu sesuatu yang tergantung kepada adanya masyruf dan dengan tidak adanya, maka tidak ada masyruf. Dengan arti bahwa syarat itu tidak masuk hakikat masyruf. Oleh karena itu, tidaklah mesti dengan adanya syarat itu ada masruf. Misalnya perkawinan adalah syarat bagi bolehnya menjatuhkan talak, dengan arti bahwa dengan tidak adanya perkawinan tidak ada hak menjatuhkan talak, akan tetapi dengan adanya perkawinan tidaklah mesti ada talak.
Syarat itu ada 2 (dua) macam, yaitu:
· Syarat syari', yaitu untuk menyempurnakan urusan syari'at. Syarat syari' terbagi kepada 2 (dua) macam, yaitu:
1. Syarat untuk menyempurnakan sebab.
2. Syarat untuk menyempurnakan musabab.
· Syarat ja'li, yaitu syarat yang dibuat oleh orang yang mengadakan perikatan dan dijadikan tempat tergantung dan terwujudnya perikatan. Misalnya seorang pembeli membuat syarat bahwa dia mau membeli sesuatu barang dari penjual dengan syarat boleh mengangsur.
Ø Mani'. Yaitu sesuatu yang karena adanya tidak ada hukum atau membatalkan sebab hukum. Mani' itu ada 2 (dua) macam, yaitu:
· Mani terhadap hukum. Misalnya perbedaan agama antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi adalah suatu penghalang hukum pusaka mempusakai.
· Mani terhadap sebab hukum. Misalnya seorang telah berkewajiban membayar zakat, akan tetapi dia mempunyai hutang yang sampai mengurangi nisab zakat, maka ia tidak wajib membayar zakat, karena harta miliknya tidak sampaiu senisab.
Ø Rukhsah dan Azimah
Rukhsah adalah ketentuan yang disyari'atkan oleh Allah sebagai peringan terhadap orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus. Sedangkan Azimah adalah peraturan syara’yangh asli yang berlaku umum. Misalnya bangkai, menurut aslinya, adalah haram dimakan oleh semua orang mukallaf. Akan tetapi bagi orang yang keadaan terpaksa, ia diperkenankan memakannya, asal tidak berlebih-lebihan.
Adapun macam-macam rukhsah, yaitu:
· Membolehkan hal-hal yang diharamkan disebabkan karena darurat.
· Membolehkan meninggalkan sesuatu yang wajib karena ada uzur.
· Memberikan pengecualian sebagian perikatan-perikatan karena dihajatkan dalam lalu lintas muamalah.
· Menghilangkan beban yang berat yang berlaku pada syariat yang terdahulu.
Ø Shihah (sah) dan Buthlan (batal)
Sah menurut syara’adalah bahwa perbuatan itu mempunyai akibat hukum. Misalnya bila seorang mukallaf dalam menjalankan suatu kewajiban, seperti shalat, puasa dan membayar zakat sudah memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka terpenuhilah olehnya kewajiban tersebut dan dia bebas dari tanggungan, bebas pula dari hukuman di dunia serta berhak mendapat pahala di akhirat.
Sedangkan batalnya suatu perbuatan adalah bahwa perbuatan itu tidak dikerjakan oleh orang mukallaf itu berupa suatu kewajiban, maka perbuatan yang dikerjakan itu tidak dapat menggugurkan kewajiban dan tidak dapat membebaskan tanggungan serta ia tidak berhak mendapat pahala di akhirat.
BAB III
RUKUN-RUKUN HUKUM SYAR'I
1. Al-Hakim (Pencipta hukum)
Jumhur ulama dalam menetapkan bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah SWT Sebagaimana firman Allah SWT.
ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬! ( Èà)tƒ ¨,ysø9$# ( uqèdur çŽöyz tû,Î#ÅÁ»xÿø9$# ÇÎÐÈ
Artinya: …menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik (QS. Al-An’am: 57)
Adapun yang diperselisihkan oleh para ulama adalah apakah akal itu dapat mengetahui hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf dengan tidak melalui Rasul-Rasul Allah dan Kitab-KitabNya ? Dalam masalah ini terdapat 3 (tiga) mazhab.
Ø Mazhab Asya'irah, yaitu pengikut Abul Hasan al-Asy'ari. Mazhab ini berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui hukum-hukum Allah selain dengan perantaraan Rasul-Rasul dan Kitab-KitabNya.
Ø Mazhab Mu'tazilah, dipelopori oleh Washil Bin Atha. Mazhab ini berpendapat bahwa akal itu dapat mengetahui baik atau buruk perbuatan orang-orang mukallaf sebelum diturunkan wahyu atau sebelum ada nash untuknya.
Ø Golongan Jumhur, berpendapat bahwa pada prinsipnya, akal itu dapat untuk mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan, akan tetapi perbuatan itu sendiri tidak akan diberi pahala atau siksa bagi orang yang mengerjakannya atau meninggalkannya, sebelum ada ketetapan dari syari'at.
2. Mahkum Fih (perbuatan hukum)
Mahkum Fih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu hukum (perbuatan hukum). Berikut beberapa syarat perbuatan hukum, yaitu:
Ø Perbuatan itu diketahui oleh orang mukallaf secara sempurna, sehingga ia dapat mengerjakannya sesuai dengan tuntunan.
Ø Hendaknya diketahui bahwa pembebanan itu berasal dari yang mempunyai kekuasaan memberi beban dan dari pihak yang wajib diikuti segala hukum yang dibuatnya.
Ø Perbuatan itu adalah perbuatan yang dapat dikerjakan atau boleh ditinggalkan oleh orang mukallaf.
3. Mahkum Alaihi (orang yang dibebani hukum)
Mahkum alaihi adalah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum. Sebagai syarat sahnya seorang muakallaf menerima beban hukum ada 2 (dua) macam, yaitu:
Ø Sanggup memahami khithab-khithab pembebanan
Ø Mempunyai kemampuan menerima beban.
Para ushuliyun membagi kemampuan ini kepada 2 (dua) macam, yaitu:
Ø Ahliyatul wujub (kemampuan menerima hak dan kewajiban)
Ø Ahliyatul ada’(kemampuan berbuat)
BAGIAN KETIGA
QAIDAH-QAIDAH LUGHAWIYAH
(Kaidah-kaidah yang dipetik dari bahasa)
BAB I
LAFAZH DITINJAU DARI SEGI MAKNA YANG
DICIPTAKAN UNTUKNYA
Para ushuliyun menetapkan bahwa perhubungan lafazh dengan makna mempunyai beberapa segi yang harus dibahas, di antaranya adalah:
1. Dari segi makna, lafazh itu dibagi menjadi 3 (tiga) bagian,
Ø Khas.
1. Ta'rif Khas adalah lafazh yang diciptakan untuk memberi pengertian satu-satuan yang tertentu. Baik menunjuk pribadi seseorang atau menunjuk macam sesuatu.
2. Hukum lafazh khas. Dalam nash syara' adalah menunjuk kepada dalalah qath'iyah, terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjuknya adalah qath'i, bukan zhanni selama tidak ada dalil yang memalingkan kepada makna yang lain.
3. Sifat-sifat lafazh khas.
Lafazh khas itu kadang-kadang datang secara mutlaq, tanpa diikuti oleh suatu syarat apapun, kadang-kadang muqayyad, yakni dibatasi dengan suatu syarat, kadang datang dengan sighat (bentuk) amar yakni tuntutan untuk dilakukan suatu perbuatan, dan kadang-kadang dengan sighat nahi, yakni melarang mengerjakan suatu perbuatan. Maka pembahasan tentang khas ini mencakup, mutlaq, muqayyad, amar dan nahi.
1. Mutlaq dan Muqayyad. Mutlaq. Yaitu lafazh khas yang tidak diberi qayyid (pembatasan) yang berupa lafazh yang dapat mempersempit perluasan artinya. Sedangkan Muqayyid, yaitu Lafazh khas yang diberi qayyid yang berupa lafazh yang dapat mempersempit keluasan keluasan artinya.
Hukum lafazh mutlaq muqayyad atau muqayyad.
- Pada prinsipnya hukum lafazh mutlaq itu tetap pada kemutlaqannya, selama tidak ada dalil yang mengqayyidkannya, dan bukan lafazh muqayyad itu tetap pada kemuqayyadannya.
- Jika dalam sutu nash syara disebutkan pada suatu tempat dengan lafazh mutlaq kemudian di tempat lain disebutkan dengan muqayyad, maka dalam keadaan semacam ini terdapat beberapa ketentuan.
Pertama, memenangkan yang muqayyad atas yang mutlaq dengan ketentuan:
- Hukum dan sebab yang dipakai untuk menetapkan hukum adalah sama;
- Hukumnya sama, tetapi sebab yang dipakai untuk menetapkan itu berbeda;
- Hukum dan sebab yang dipakai untuk menetapkan hukum tidak sama;
- Hukumnya tidak sama tetapi sebab yang dipakai untuk menetapkan hukum adalah sama;
Kedua, tidak memenangkan yang muqayyad atas yang mutlaq. Yang demikian itu dalam keadaan apabila:
- Hukum dan sebab yang dipakai untuk menetapkan hukum tidak sama;
- Hukumnya tidak sama tetapi sebab yang dipakai untuk menetapkan hukum adalah sama;
2. Amar (Perintah)
1. Ta'rif
Amar adalag suatu lafazh yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya untuk menuntut kepada orang yang lebih rendah derajatnya agar melakukan suatu perbuatan.
2. Bentuk lafazh amar
1. Fi'il Amar
2. Fi'il Mudhari’
3. Sesuatu yang diberlakukan sebagai fi'il amar seperti, Isim fi'il.
4. Jumlah khabariyah yang diartikan selaku jumlah insyaiyah.
3. Petunjuk lafazh amar.
Jumhur ulama berpendapat bahwa lafazh amar itu diciptakan untuk memberi pengertian wajib. Selama lafazh amar itu tetap dalam kemutlaqannya ia selalu menunjukan kepada arti yang hakiki, yakni wajib.
Ø Amm
1. Ta'rif Amm adalah suatu lafazh yang sengaja diciptakan oleh bahasa untuk menunjukan satu makna yang dapat mencakup seluruh saatuan-satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
2. Lafazh-lafazh amm Lafazh-lafazh amm digunakan untuk memberi faedah sangat banyak ditemukan, antara lain:
· Lafazh Kullun dan jamiun
· Lafazh jama
· Isim mufrad
· Isim-isim mausul
· Isim-isim isyarat
· Isim-isim istifham
· Isim nakirah
3. Macam-macam ‘amm:
Ditinjau dari penggunaannya, lafazh amm itu ada tiga macam, yaitu:
· Amm yuradu bihi amm, yaitu amm yang disertai qarinah yang menghilangkan kemunginan untuk dikhususkannya.
· Amm yuradu bihil khusus, yaitu amm yang disertai qarinah untuk menghilangkan arti umum dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan amm itu adalah sebagian dari satuannya.
· Amm makhsush, yaitu amm mutlak yang tidak disetai qarinah yang menghilangkan kemungkinan dikhususkan dan tidak disertai pula qarinah yang menghilangkan keumumannya.
4. Qashrul amm
Amm itu dapat dipersempit artinya kepada sabagian satuannya dengan salah satu dari 4 (empat) hal berikut:
· Kalam mustaqil munfasil, yaitu kalimat yang sempurna berdiri sendiri tetapi terpisah dengan kalimat yang pertama.
· Kalam mustaqil muttasil, yaitu kalimat yang sempurna berdiri sendiri tetapi kalimat itu masih bersambung.
· Kalam ghair mustaqil, yaitu kalimat yang tidak sempurna. Terbagi lagi kepada 5 macam, yaitu:
- Istisna muttasil (pengecualiaan yang bersambung)
- Syarat
- Shifat
- Ghayah
- Badal bakdhi minal kull
- Maa laisa bikalam (bukan berupa kalimat). Yaitu:
· Akal
· Indera
· Adat kebiasaan.
5. Takhshishu’l-amm dan dalalahnya
· Takhshishu’l-amm
Dalam istilah jumhur ahli ushul adalah memberi penjelasan bahwa arti yang dikehendaki oleh syari’ dari pengertian lafazh umum sejak dari semula hanyalah sebagian kesatuannya, bukan arti seluruh kesatuan yang tercakup di dalamnya.
· Dalalah amm.
Jumhur ahli ushul menetapkan bahwa dalalah 'amm yang mencakup seluruh satu-satuannya adalah zhanniyah. Sebab kebanyak nash-nash yang datang dengan sighat umum itu dimaksudkan hanya sebagian satuannya saja.
6. Mentakhsish (memberlakuakn secara khusus) keumuman al-Qur'an dan as-sunnah dengan al-qur'an, sunnah mutawatirah, sunnah masyhurah atau dengan dalil-dalil yang lain.
Ø Jamak Munakkar
Jamak Munakkar adalah lafazh jama yang mencakup satuan-satuan yang banyak, akan tetapi sampai menghabiskan seluruh satuan yang dapat dimasukkan ke dalamnya. Misalnya lafazh “Rijalun”QS. An-Nur: 36-37) adalah jama dalam bentuk nakirah. Dia mencakup dalam satuan-satuan yang banyak, akan tetapi tidak mencakup seluruh orang laki-laki.
Ø Musytarak
1. Ta'rif
Musytarak adalah lafazh yang mempunyai dua arti atau lebih yang berbeda-beda. Misalnya, “quru”mempunyai arti suci dan haid. Lafazh musytarak banyak ditemui di dalam al-Qur'an. Oleh karena itu lafazh-lafazh tersebut memerlukan penjelasan yang seksama apa yang dimaksud dengan masing-masing.
2. Sebab-sebab yang menyebabkan lafazh menjadi musytarak
· Lafazh itu digunakan oleh suatu suku bangsa untuk makna tertentu dan oleh suku bangsa lain digunakan untuk makna yang lain pula
· Lafazh itu diciptakan menurut hakikatnya untuk satu makna, kemudian dipakai pula kepada makna lain tetapi secara majazi
· Lafazh itu semula diciptakan untuk satu makna, kemudian dipindahkan kepada istilah syar'i untuk makna lain. Misalnya lafazh “shalat”menurut arti bahasa semula artinya adalah mendoa, kemudian menurut arti istilah syar'i ialah shalat sebagaimana kita laksanakan sekarang.
3. Hukum lafazh musytarak
Apabila persekutuan arti lafazh musytarak pada suatu nash syar'i itu terjadi antara makna lughawi dengan makna ishtilahi syar'i, maka hendaklah diambil makna menurut istilah syar'i Misalnya lafazh shalat yang menurut bahasa diartikan dengan doa dan menurut syara' diartikan ibadah yang sudah tertentu.
BAB II
PEMBAGIAN LAFAZH
DARI SEGI PEMAKAIAN ARTI
Ditinjau dari segi pemakaiannya untuk suatu arti dibagi kepada Hakikat, Majaz, Shareh dan Kinayah (sindiran).
A. Hakikat dan Majaz
1. Ta'rif
Yaitu suatu lafazh yang sengaja diciptakan untuk memberi suatu arti yang sesuai dengan peristilahan bidang ilmu disebut Lafazh Hakikat. Sedangkan Lafazh Majaz adalah suatu lafazh yang digunakan untuk suatu arti yang semula lafazh itu bukanlah diciptakan untuknya.
2. Hukum lafazh hakikat dan majaz
Setiap lafazh hakikat harus diamalkan, menurut arti yang semula diciptakan untuknya, baik bersifat amm maupun khas dalam bentuk amar atau nahi.
3. Keumuman lafazh majaz
Ulama syafi'iyah, berpendapat bahwa suatu lafazh menjadi majaz bila ia sukar untuk diartikan secara hakikat, sehingga dalalah lafazh kepada maknanya yang majazi itu adalah dalalah dharuriyah (karena terpaksa). Oleh karena itu, ia hanya mencakup arti yang minimal yang dapat dibenarkan oleh rangkaian kalimat.
4. Mengumpulkan lafazh hakikat dengan istilah majaz
Menggunakan suatu lafazh dengan maknanya yang majazi yang tercakup juga maknanya yang hakiki tidak terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Misalnya, menggunakan lafazh “umm”(ibu) dengan arti majaznya yaitu asal usul yang menurunkan seseorang yang mencakup ibu dan ibu dari ibu (nenek) dan lafazh “bintun”(anaka perempuan) dengan artti majaznya yakni anak turun perempuan yang dapat mencakup juga anak perempuan kandung, cucu perempuan pancar laki-laki (bintu ibnin) dan cucu perempuan pancar perempuan (bintun bintin).
Adapun yang mereka perselisihkan adalah penggunaan arti kedua-duanya bersama-sama dalam satu ucapan, sedangkan masing-masing mempunyai ketentuan hukum sendiri-sendiri. Misalnya, “uqtulu'l-asada”diartikan suatu perintah membunuh singa (arti hakiinya) sekaligus dengan membunuh seorang pemberani (arti majaznya).
Ø Imam Syafi'i, kebanyakan ahli Hadits dan sebagian Mutakallimin membolehkannya;
Ø uiqaha Hanafiyah, sebagian fuqaha Syafi'iyah dan Jumhur Mutakallimin melarang menggunakan dua arti sekaligus dalam suatu percakapan;
B. Shareh dan Kinayah
1. Ta'rif
Lafazh shareh ialah lafazh yang maksudnya jelas sekali, lantaran sudah masyhur dalam pemakaiannya, baik secara hakiki maupun majazi. Yang hakiki seperti seorang penjual berkata, bahwa barang dagangannya telah dijual kepada pembeli. Pembeli menjawab ia telah membelinya. Perkataan-perkataan ini adalah shareh. Sedangkan shareh majazi, seseorang mengatakan bahwa ia makan dari pohon tertentu, maka maksud dari ucapan tersebut ialah bahwa ia makan dari buah-buahan yang dihasilkan pohon yang dikatakan itu.
Sebagaimana lafazh shareh, lafazh kinayah pun dibagai menjadi hakiki dan majazi. Kinayah hakiki misalnya, “Kawanmu telah menemui saya, lalu saya membicarakan masalah yang telah kamu ketahui.” Siapa yang dimaksud dengan kawan tersebut tidaklah jelas orangnya, tetapi arti kawan itu yang dimaksud adalah maknyanya yang hakiki. Sedangkan Kinayah Majazi, misalnya seorang suami mengatakan kepada istrinya: “Beriddahlah kamu!.”Maka perkataan “beriddahlah”adalah kinayah (sindiran) untuk perceraaian. Dalam pada itu perkataan “beriddahlah”juga majaz. Karena perintah menghitung bukanlah dengan arti hakiki, yaitu menghitung yang sebenarnya, melainkan dengan arti menunggu sampai hari-hari tertentu yang disebabkan karena adanya perceraian.
2. Hukum lafazh shareh dan Kinayah
Lafazh shareh wajib diamalkan, sedangkan lafazh kinayah tidak wajib diamalkan kecuali jika ada qarinah yang mengharuskan untuk diamalkannya. Dengan demikian lafazh shareh itu lebih tinggi derajatnya daripada lafazh kinayah.
BAB III
PEMBAGIAN LAFAZH
DARI SEGI TERANG DAN SAMARNYA MAKNA
Ditinjau dari segi terang dan samarnya makna suatu lafazh para ahli Ushul membagi kepada:
A. ZHAHIRUD DALALAH
Zhahirud Dalalah Yaitu suatu lafazh suatu lafazh yang menunjuk kepada makna yang dikehendaki oleh sighat (bentuk) lafazh itu sendiri. Adapun tingkatan-tingkatan Zhahirud Dalalah adalah:
1. Zhahir, yaitu lafazh yang menunjuk kepada suatu makna yang dikehendaki oleh sighat lafazh itu sendiri, tetapi bukanlah makna itu yang dimaksud oleh siyaqul kalam dan lafazh itu sendiri masih dapat ditakwilkan, ditafsirkan dan dapat pula dinasakhkan.
Ø Hukum lafazh Zhahir
Wajib diamalkan sesuai dengan makna yang dikehendaki, selama tidak ada dalil yang menafsirkan, mentakwilkan atau menasakhnya. Oleh karenanya apabila lafazh zhahir itu:
· Dalam keadaan mutlak, maka tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang mentaqyidkannya, diamalkan dalil yang mentaqyidkannya.
· Dalam keadaan umum maka ia tetap dalam keumumannya, selama tidak ada dalil yang mentakhsishkannya. Jika ada dalil yang mentakhsishkannya, hendaklah diamalkan sesuai dengan mukhashshisnya.
· Mempunyai artti hakikat, hendaklah diartikan menurut arti yang hakiki itu, selama tidak ada qarinah yang memaksa untuk dialihkan kepada artinya yang majazi.
· Pada masa pembinaan hukum syari'at, yaitu pada zaman Rasulullah SAW lafazh zhahir itu dapat dinasakh dalalahnya. Artinya yang dipetik dari lafazh zhahir dapat diganti dengan hukum yang berlainan, apabila hukum tersebut berkaitan dengan hukum furu (cabang) yang dapat berubah menurut kemaslahatan.
2. Nash
Lafazh nash ialah lafazh yang menunjuk kepada suatu makna yang dikehendaki baik oleh lafazh itu sendiri maupun oleh siyaqul kalam dan ia masih dapat ditakwilkan, ditafsirkan dan dinasakh di masa Rasulullah SAW.
Ø Hukum lafazh Nash.
· Ketentuan lafazh Nash itu sama dengan ketentuan hukum lafazh zhahir. Yakni wajib diamalkan menurut madlulnya (dalam hal ini makna yang dikehendaki oleh siyaqul kalam), selama tidak ada dalil yang mentakwilkan, menafsirkan atau menasakhnya.
Berdasarkan ketentuan yang prinsip itu apabila lafazh Nash tersebut:
- Dalam keadaan mutlak, ia tetap dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang mentaqyidkannya. Jika ada dalil yang mentaqyidkannya maka lafazh yang muqayyadlah yang diamalkannya.
- Bersifat ‘amm, maka ia tetap dalam arti keumumannya, selama tidak ada dalil yang mentakhshiskannya. Jika ada dalil yang mentakhshishkannya, hendaklah diamalkan mukhashshishnya.
- Lafazh nash itu, baik diciptakan untuk pengertian umum maupun khusus, harus tetap diartikan menurut maknanya yang hakiki, sampai ada dalil yang menunjukan bahwa makna yang dikehendaki oleh lafazh itu adalah makna yang majazi. Jika ada dalil yang menunjukan bahwa makna yang dikehendaki itu adalah makna yang majazi, maka harus diartikan kepada makna majazi.
3. Mufassar
Mufassar yaitu lafazh yang menunjuk kepada makna sebagaimana dikehendaki oleh sighat lafazh itu sendiri dan siyaqul kalam, tetapi ia tidak dapat ditakwilkan dan ditafsirkan selain oleh syari' sendiri dan dapat menerima nasakh pada zaman Rasulullah SAW.
Lafazh mufassar dapat diklasifikasi kepada 2 (dua) macam:
Ø Mufassar bidzatih. Yaitu kejelasan makna yang dikehendaki oleh sighat lafazh dan siyaqul kalam tanpa memerlukan penjelasan dari luar lafazh itu.
Ø Mufassar bighairih. Yaitu kejelasan maknanya sesuai dengan dalalah yang ditunjuk oleh lafazh itu sendiri atau sesuai dengan penjelasan dari syari', kecuali ada dalil yang shareh yang menasakhkannya.
Hukum Lafazh Mufassar
Hukum lafazh Mufassar wajib diamalkan sesuai dengan dalalah yang ditunjuk oleh lafazh itu sendiri atau sesuai dengan penjelasan dari syari', kecuali ada dalil yang shareh yang menasakhkannya.
4. Muhkam
Lafazh Muhkam adalah lafazh yang menunjuk kepada makna sebagaimana dikehendaki oleh sighat lafazh itu dan siyaqul kalam, akan tetapi ia tidak dapat ditakwilkan, ditafsirkan dan dinasakh pada saat Rasulullah SAW masih hidup.
Lafazh Muhkam itu adalah lafazh Mufassar yang tidak dapat dinasakh. Ia seperti lafazh Mufassar dari segi terangnya dalalah akan tetapi, dari segi dalalah maknanya adalah lebih kuat daripada dalalah makna lafazh Mufassar.
Lafazh Muhkam itu tidak dapat dinasakh pada zaman Rasulullah SAW dan apalagi sesudahnya, lantaran ketentuan yang ditunjuk oleh lafazh Muhkam itu adakalanya:
· Mengenai hukum asasi yang sudah tidak dapat dirubah, seperti beriman kepada Allah SWT, Rasul-Rasulnya dan Kitab-KitabNya.
· Mengenai induk keutamaan yang tidak berbeda lantaran perbedaan suasana dan keadaan. Misalnya berbuat bakti kepada kedua orang tua, berlaku adil dan bersifat jujur.
· Mengenai hukum syar'i juz'i (hukum cabang) yang ditetapkan oleh syar'i agar hukum tersebut dilestarikan. Misalnya larangan untuk menerima persaksian orang yang menuduh zina yang tidak sanggup mengemukakan 4 (empat) orang saksi.
Macam-macam lafazh Muhkam
Lafazh Muhkam ada 2 (dua) macam, yaitu:
Ø Muhkam Lidzatihi, yaitu Lafazh Muhkam yang tidak dapat dinasakh maknanya.
Ø Muhkam Lighairihi, yaitu Lafazh Muhkam yang menurut dzatnya dapat menerima nasakh, akan tetapi lafazh itu diikuti oleh suatu lafazh lain yang menunjuk kepada kelestariannya.
Hukum lafazh Muhkam
Lafazh Muhkam wajib diamalkan secara qath'i. Karena makna lafazh muhkam itu tidak dapat ditakwilkan kepada arti lain di luar lafazhnya dan tidak dapat pula dinasakh baik pada zaman Rasulullah SAW maupun sesudahnya.
Martabat-martabat Zhahirud dalalah
Perjenjangan lafazh zhahirud dalalah kepada 4 (empat) jenjang tersebut di atas akan nampak kegunaannya bila terjadi ta'arudh (perlawanan) antara yang satu dengan lainnya. Misalnya, bila terjadi perlawanan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash, maka haruslah didahulukan lafazh nash. Ia lebih jelas dalalahnya daripada lafazh zhahir, karena makna lafazh nash itu adalah makna yang dimaksudkan secara asli menurut siyaqulkalam, sedang makna lafazh zhahir bukan yang dimaksudkan secara asli menurut siyaqulkalam.
B. KHAFIYUD DALALAH
1. Ta'rif
Yang dimaksud dengan Khafiyud dalalah adalah lafazh yang penunjukannya kepada makna yang dikehendaki bukan oleh sighat itu sendiri, akan tetapi karena tergantung kepada sesuatu dari luar lantaran ada kekaburan pengertian pada lafazhnya.
Para ahli Ushul mengklasifikasi tingkatan lafazh Khafiyud dalalah kepada 4 (empat) macam.
Ø Khafi
Lafazh Khafi adalah lafazh yang penunjukannya kepada maknanya adalah jelas, akan tetapi penerapan maknanya kepada sebagian satuannya terdapat kekaburan yang bukan disebabkan oleh lafazh itu sendiri. Misalnya lafazh “sariq" (pencuri). Lafazh sariq menurut ayat tersebut diterapkan untuk orang yang mengambil harta milik orang lain secara sembunyi dari tempat penyimpanan yang wajar. Dalalah lafazh kepada maknanya yang demikian itu adalah jelas. Akan tetapi, dalam penerapan maknanya (yakni pencuri) terhadap sebagian satuannya terdapat suatu kekaburan
Ø Musykil
Lafazh Musykil adalah lafazh yang sighatnya sendiri tidak menunjukan kepada makna yang dikehendaki, akan tetapi harus ada qarinah dari luar agar menjadi jelas apa yang dikehendakinya.
Perbedaan antara lafazh Khafi dan lafazh Musykil. Lafazh Khafi kekaburan maknanya bukan disebabkan dari lafazh itu sendiri, namun disebabkan adanya keraguan makna atas sebagian satuannya karena sesuatu dari luar. Sedangkan kekaburan makna pada lafazh Musykil berasal dari lafazh itu sendiri, karena lafazh itu diciptakan untuk beberapa makna.
Kemusykilan lafazh itu timbul disebabkan:
· Karena lafazh itu musytarak
· Adanya dua lafazh yang saling berlawanan
Cara untuk menghilangkan kemusykilan yaitu dengan jalan Ijtihad. Maka bila seseorang mujtahid menemukan suatu lafazh Nash yang musytarak, hendaklah ia mencari qarinahnya untuk menghilangkan kemusykilannya.
Ø Mujmal
Mujmal ialah lafazh yang sighatnya sendiri tidak menunjukan makna yang dikehendaki dan tidak pula didapati qarinah lafzhiyah (tulisan) atau haliyah (keadaan) yang menjelaskannya. Jadi setiap lafazh yang tidak dapat dipahamkan maksudnya dengan sendirinya, bila tidak disertai qarinah yang dapat menyampaikan maksud tersebut.
Kekaburan makna lafazh Mujmal lantara lafazh itu sendiri, bukan dari luar, disebabkan karena:
- Lafazh itu Musytarak yang sulit ditentukan artinya.
- Makna lafazh-lafazh yang menurut makna lughawi (bahasa) itu dipindah oleh syari' kepada makna yang pantas untuk istilah syari'at.
- Makna lafazh-lafazh yang menurut makna yang umum itu dipergunakan oleh syari' sendiri untuk suatu makna yang khusus..
BAB IV
CARA PENUNJUKAN LAFAZH KEPADA MAKNA
MENURUT MAKSUD PENCIPTA NASH
A. Macam-macam Dalalah Lafazh dan Tingkat-Tingkatnya
1. Ulama Hanafiyah membagi dalalah lafazh kepada 4 (empat) macam, yaitu:
· Dalalah ibarat yaitu petunjuk yang diperoleh dari apa yang tersurat dalam Nash;
· Dalalah isyarat yaitu petunjuk yang diperoleh dari apa yang tersirat dalam Nash;
· Dalalatud dalalah yaitu penunjukan suatu lafazh bahwa hukum yang dipetik dari Nash yang disebutkan berlaku pula bagi perbuatan yang tidak dituturkan dalam Nash, karena adanya persamaan illat antara kedua macam perbuatan tersebut;
Dalalatud Dalalah ini juga disebut Fahwal Khitab atau Lahnul Khithab. Ulama Syafi'iyah menamainya dengan Mafhum Muwafaqah.
Adapun apabila hukum yang tidak disebutkan itu sama deraajatnya dengan hukum yang disebutkan, dalam hal ini para ahli ushul memperselisihkannya;
Ulama Hanafiyah memasukkannya sebagai Dalalatud-dalalah. Sedangkan Ulama Syafiiyah memasukkannya sebagai Qiyas. Karena ada perbedaan tersebut, maka berbeda pulalah hukum yang diterapkan terhadap hukum masalah-masalah yang tidak disebutkan oleh Nash.
· Dalalatud iqtidha, yaitu penunjukan lafazh kepada sesuatu yang tidak disebut oleh Nash. Akan tetapi, pengertian Nash itu baru dapat dibenarkan jika yang tidak disebut itu dinyatakan dalam perkiraan yang tepat.
Tingkatan Dalalah menurut Hanafiyah
Menurut Hanafiyah kuat dan lemahnya Dalalah lafazh (Dalalatun Nash) adalah menurut urutan sebagaimana tersebut di atas. Ini berarti jika terjadi perlawanan antara dalalah-dalalah itu, maka madlul dari Dalalah ibarat harus didahulukan pengamalannya daripada madlul Dalalah Isyarat, dan seterusnya.
2. Ulama Syafi'iyah membagi dalalah lafazh kepada 2 (dua) bagian, yakni:
· Dalalah manzhum yaitu petunjukan lafazh yang shareh kepada seluruh makna yang diciptakan untuknya atau kepada sebagian maknanya saja. Dalalah manzhum ini disebut dengan Dalalah Manthuq.
· Dalalah ghairu Manzhum yaitu penunjukan lafazh (kalam) kepada suatu makna oleh lafazh yang tidak shareh. Ia terbagi kepada 2 (dua) macam, yakni:
- Makna yang terdapat di dalam pembicaraan itu dikehendaki oleh si pembicara.
- Makna yang terdapat dalam pembicaraan itu tidak dikehendaki oleh pembicara, akan tetapi, makna itu tidak dapat dipisahkan dengan makna yang terdapat dalam Nash.
Tingkatan dalalah menurut Syafi'iyah
Martabat-martabat dalalah menurut Syafiiyah teratur sebagai berikut:
Dalalah Manzhum (Manthuq) didahulukan daripada Dalalah Ghairu Manzhum. Kemudian dari bagian-bagian Dalalah Ghairu Manzhum Dalalah iqtidha didahulukan daripada Dalalah tambih atau ima'. Dalalah tambih didahulukan daripada Dalalah Mafhum. Dari dua jenis dalalah Mafhum, maka Mafhum Muwafaqah didahulukan daripada Mafhum Mukhalafah.
B. Mafhum Mukhalafah
Mafhum Mukhalafah ialah penetapan lawan hukum yang diambil dari dalil yang disebutkan dalam Nash (manthuq bih) kepada sesuatu yang tidak disebutkan dalam Nash (maskut anhu). Maskut anhu adalah berlawanan dengan hukum yang ditetapkan oleh Manthuq bih.
1. Macam-macam mafhum mukhalafah
· Mafhum Washfi, yaitu menetapkan lawan hukum bagi Maskut anhu dengan melalui suatu sifat yang terdapat dari Manthuq bih.
· Mafhum Ghayah, yaitu menetapkan lawan hukum bagi maskut anhu dengan melalui suatu ghayah (batasan) yang terdapat dalam manthuq bih. Artinya hukum yang ditetapkan setelah adanya suatu ghayah (hatta, ila dan lain-lainnya) adalah berlawanan dengan hukum dari Nash sebelum adanya ghayah.
· Mafhum syarat, yaitu menetapkan lawan hukum bagi maskut anhu dari hukum manthuq bih yang dibatasi dengan suatu syarat.
· Mafhum adad, yaitu menetapkan lawan hukum bagi maskut anhu dari hukum manthuq bih yang dibatasi dengan bilangan yang sudah tertentu.
· Mafhum laqab, yaitu menetapkan lawan hukum maskut anhu dari hukum manthuq bih yang dikaitkan dengan isim alam, ism washf dan ism jins.
· Mafhum hashr, yaitu menetapkan lawan hukum bagi maskut anhu dari hukum manthuq bih yang di hashrkan (khususkan hanya untuknya).
2. Syarat-syarat Mafhum mukhalafah
Agar dapat dijadikan hujjah diperlukan 6 syarat, yaitu:
· Madlul dan Mafhum Mukhalafanya tidak boleh bertentangan dengan madlul dari dalil yang lebih kuat, baik dari dalil manthuq bih maupun dalil mafhum muwafaqah.
· Dalalah manthuqnya (dalil yang disebutkan) bukan dimaksudkan untuk memberi batasan dengan sifat tertentu.
· Dalalah manthuqnya harus beridiri sendiri, tidak boleh mengikuti yang lain.
3. Kehujjahan Mafhum Mukhalafah
· Para ahli Ushul telah sepakat bahwa mafhum mukhalafah jenis mafhum laqab, tidak dapat dibuat hujjah
· Para ahli Ushul telah sepakat bahwa mafhum mukhalafah yang berjenis mafhum washfi, mafhum syarat, mafhum adad dan mafhum ghayah dalam ketentuan-ketentuan selain nash-nash syari'at dapat dibuat hujjah.
Adapun yang mereka perselisihkan ialah kehujjahan Mafhum mukhalalaf yang berjenis mafhum washf, mafhum syarat, mafhum ghayah dan mafhum adad dalam nash-nash syari'at.
· Ulama jumhur ahli Ushul berpendapat bahwa nash syari'at yang menunjuk kepada ketetapan hukum dari suatu kejadian apabila dikaitkan dengan suatu sifat, atau digantungkan dengan suatu syarat atau dibatasi dengan suatu batasan bilangan atau perkiraan, maka ia menjadi hujjah pula atas lawan hukum kejadian yang ada nashnya bila sifat, syarat dan batasan dengan bilangan dan perkiraan itu berlawanan dengan yang disebutkan.
· Para ahli Ushul golongan Hanafiyah berpendapat bahwa nash syara’yang menunjuk hukum suatu peristiwa itu bila dikaitkan dengan suatu sifat, digantungkan dengan suatu syarat atau dibatasi dengan suatu bilangan atau perkiraan tertentu, maka ia hanya dapat dibuat hujjah untuk menetapkan hukum bagi peristiwa itu saja. Sedang bagi peristiwa yang dikaitkan dengan suatu sifat, digantungkan dengan suatu syarat atau dibatasi dengan suatu pembatasan sebaliknya tidak dapat ditetapkan hukumnya berdasarkan kebalikan hukum peristiwa yang sudah ada nashnya itu.
C. Bayanud Darurat (Dalalah ghair lafzhiyah)
Ulama Hanafiyah membagi Dalalah Bayanud Darurat ( Dalalah Tsubut) ini menjadi 4 (empat) macam, yaitu:
1. Tetapnya suatu hukum akibat dari menetapkan suatu hukum yang berdasar lafazh yang disebutkan.
2. Keadaan Rasulullah SAW tidak menjelaskan hukum dalam suatu peristiwa yang kalau sekiranya beliau menghendaki hukum yang berlainan dari hukum yang disebutkannya itu tentu dijelaskannya.
3. Diamnya Rasulullah SAW yang dianggap sebagai dalalah lafazh untuk menghindari penipuan atau menolak penyiksaan terhadap orang lain.
4. Tidak disebutkan suatu kalimat dalam pembicaraan karena seseorang sudah terbiasa membuangnya untuk meringkaskan pembicaraan.
BAGIAN KEEMPAT
KAIDAH-KAIDAH
DAN TUJUAN UMUM PERUNDANG-UNDANGAN
(QAWA'IDUT TASYRI'IYAH WA MAQASHIDUHA)
BAB I
KAIDAH-KAIDAH PERUNDANG-UNDANGAN
Qawa'idut-Tasyri'iyah adalah tata aturan yang dibuat oleh Pembuat Undang-undang dalam menyusun Undang-undang dan merealisir tujuan yang ingin dicapainya melalui pemberian beban kewajiban kepada orang-orang mukallaf.
Pada pembahasan yang lalu, telah disebutkan sumber-sumber hukum Syari'at, antara lain:
· Al-Qur'an adalah sumber yang pertama dan Al-Hadits adalah sunber hukum yang kedua
· Peristiwa yang sudah ditunjuk oleh Nash, baik Al-qur'an maupun al-Hadits, tidak boleh ditetapkan hukumnya berdasarkan pendapat logika
· Peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya atau sudah ada nashnya tetapi tidak qath'i dalalahnya ditetapkan hukumnya berdasarkan ijtihad, baik ijtihad jama'i maupun ijtihad fardi
· Keputusan dari ijtihad jama'i harus didahulukan mengamalkannya daripada hasil pendapat ijtihad fardi
· Landasan utama Ijtihad adalah Qiyas atau memelihara kemaslahatan orang banyak
· Kedua macam ijtihad tersebut harus berdasarkan kepada muqayasah (saling mengadakan analogi suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain).
BAB II
TUJUAN UMUM PERUNDANG-UNDANGAN
1. Jenis-jenis tujuan umum perundang-undangan
Pertama, untuk memelihara Al-umurudh-dharuriyah dalam kehidupan manusia. Yakni hal-hal yang menjadi sendi eksitensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan mereka. Al-umurudh-dharuriyah ada 5 (lima) macam, yaitu;
· Urusan agama
· Urusan jiwa
· Urusan akal
· Urusan keturunan
· Urusan harta milik
Kedua, untuk memenuhi Al-umurul-hajiyah dalam kehidupan manusia. Yaitu hal-hal yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan. Artinya bila sekiranya hal-hal tersebut tidak ada, maka tidak sampai membawa tata aturan hidup manusia berantakan dan kacau melainkan hanya sekedar membuat kesulitan dan kesukaran saja.
Ketiga, untuk merealisir Al-umurut-tahsiniyah. Yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi oleh akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus dan dihajati oleh kepribadian yang kuat. Itu semua termasuk bagian akhlakulkarimah, sopan santun dan adab untuk menuju ke arah kesempurnaan.
2. Pelengkap Maqashidut Tasyri'iyah
Berkaitan dengan 3 (tiga) macam maqashid tersebut terdapat beberapa ketentuan pelengkap, yaitu:
Ø Pelengkap Maqashid dharuriyah
Ketika Tuhan mensyari'atkan shalat untuk menegakkan dan memelihara urusan agama, syari’memerintahkan agar shalat itu dikumandangkan dengan azan sesudah masuk waktu shalat dan dikerjakan dengan berjamaah sebagai kelengkapannya.
Ø Pelengkap Maqashid hajiyah
Tatkala syar'i memberikan kemurahan kepada orang yang sedang dalam bepergian untuk mengqasar shalat lalu disempurnakan kemurahan itu dengan membolehkan menjamaknya.
Ø Pelengkap Maqashid tahsiniyah
Syar'i mewajibkan bersuci untuk menegakkan urusan tahsiniyah. Kewajiban bersuci itu disempurnakan dengan aturan-aturan sunat bagi bersuci, demikian juga ketika syar'i mendorong seseorang gemar berderma, lalu syari' menyarankan agar derma yang dikeluarkan itu dikeluarkan dari harta yang halal.
3. Tertib Maqashid ‘Ammah (umum) Tasyri'iyah
Al-umurudh-dharuriyah adalah maqashid yang sangat penting, bila ini tidak tercapai maka kehidupan manusia akan berantakan dan kemaslahatan umum akan musnah. Al-umurul-hajiyah adalah setingkat lebih rendah daripada yang pertama, sekiranya tidak tercapai hanya akan membawa kesulitan bagi manusia, tidak sampai membawa keberantakan hidup. Tingkat yang terakhir adalah Al-umurut-tahsiniyah, bila tidak terpenuhi maqashid ini tidaklah sekacau sekiranya maqashid dharuriyah dan maqashid hajiyah tidak terealisir. Hanya saja tata hidup manusia kurang sempurna dan tidak harmonis.
4. Membebani orang mukallaf kepada Maqashid tasyri'iyah
Tujuan umum perundang-undangan syari'at dalam memberikan beban kepada orang mukallaf itu dapat direalisir lantaran orang-orang mukallaf mentaati perintah dan menjauhi larangan syar'i. Misalnya melaksanakan shalat berniat mencapai tujuan yang dikehendaki syari, yaitu untuk mendidik jiwa, menjauhi perbuatan yang keji maka amal perbuatannya adalah sah, tetapi bila sebaliknya melaksanakan perintah Allah SWT tanpa menghiraukan manfaat yang diperoleh dari shalat itu atau hanya untuk mengelabui orang lain, maka shalatnya ditolak.
BAB III
PERANTARA-PERANTARA MAQASHID TASYRI'IYAH
A. Sesuatu Yang Menjadikan Kewajiban Sempurna Karenanya adalah Wajib Adanya
Wajibnya suatu kewajiban itu ditentukan oleh adanya beberapa sebab dan syarat. Misalnya wajibnya menjalankan shalat fardhu ditentukan oleh adanya sebab tibanya waktu shalat dan terpenuhinya syarat. Sebab-sebab yang menjadi tempat ketergantungan musabab itu adakalanya berupa sebab 'adi (menurut adat kebiasaan) seperti penguasaan suatu ilmu biasanya disebabkan oleh ketekunan belajar, dan adakalanya sebab syar'i (menurut ketentuan syariat), seperti berpeindahnya harta barang yang diwakafkan dari orang yang berwakaf kepada penerima wakaf menurut ketentuan syariat.
Adapun jenis-jenis syarat yang menjadi tempat ketergantungan masyruth (musabab) ada 3 (tiga), yaitu: Syarat aqli (menurut akal), syarat 'adi (menurut kebiasaan) daan syarat syar'i (menurut syari'at)
Mengenai pengadaan syarat-syarat dibedakan menurut jenisnya sebagai berikut:
· Jika ia berupa syarat aqli atau syarat 'adi, maka pengadaan yang wajib itu lantaran mengikuti masyruth, tempat mengganntungkan syarat. Hal itu karena adanya kesepakatan dari seluruh umat Islam tentang wajibnya melaksanakan apa saja yang telah diperintahkan oleh syar'i
· Jika ia berupa syarat syar'i, maka syarat tersebut bukan karena mengikuti masyruthnya, melainkan dengan menunjukkan dalil lain. Dengan kala lain wajibnya syarat syar'i itu bukan secara intuisi (badahah).
B. Saddudz Dzari'ah
1. Pengertian
Dzari'ah adalah perkataan atau perbuatan yang menjadi media terwujudnya perkataan atau perbuatan lain. Fuqaha membatasi perkataan atau perbuatan sebagai akibat dari media tersebut kepada perkataan atau perbuatan yang terlarang. Misalnya seseorang menghina orang lain di muka umum, kemudian orang yang merasa terhina membalas dengan menghinanya. Menghina dalam contoh tersebut merupakan dzari'ah yang menghantar kepada terwujudnya penghinaan balasan, akibat tersebut tidak dibenarkan oleh syari'at. Meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang disebut “Saddudz-dzari'ah.
2. Keedudukan Saddudz Dzari'ah dalam perundang-undangan
Saddudz Dzari'ah oleh Imam Malik banyak menggunakan dasar ini di dalam pembahasan kitab fiqhnya. Pendukung-pendukung beliau terus memperluas penggunaan dasar ini sehingga dikembangkan oleh ulama Malikiyyah. Dalam kenyataannya tidak demikian, selain ulama Malikiyyah juga menggunakan dasar ini, hanya saja ada perbedaan sedikit dalam mempraktekkannya.
C. Hiyal
1. Ta'rif
Hiyal adalah bentuk jama dari lafazh hilah menurut bahasa artinya mengalihkan. Kemudian oleh para fuqaha lafazh tersebut dipakai untuk suatu siasat yang digunakan untuk menghindarkan wajib syariat. Artinya dengan tindakan sebagaimana dikerjakan oleh seorang mukallaf yang akan terkena kewajiban syariat menjadi gugurlah kewajiban tersebut karenanya.
2. Pendapat para fuqaha tentang hukum hiyal
Para fuqaha berbeda pendapatnya mengenai hukum berhelat (mengakali) hukum.
· Sebagian fuqaha membolehkannya. Mereka mengemukakan alasan-alasan baik yang diistimbatkan dari ayat al-quran dan hadits maupun logika.
Misalnya: Allah SWT mengajarkan kepada Nabi Ayyub suatu siasat untuk diterapkan kepada orang yang disumpahinya tanpa melanggar sumpah. Ia bersumpah akan memukul istrinya 100 kali, bila sakit kulitnya sudah sembuh, disebabkan istrinya pernah lalai mengurusnya sewaktu ia sakit. Tetapi timbul dalam hatinya rasa iba dan sayang terhadap istrinya sehingga tidak berdaya melaksanakan sumpahnya itu.
3. Jenis-jenis hiyal dan status hukumnya
Hilah dalam artinya yang asli adalah usaha yang dijalankan oleh seseorang untuk memindahkan satu situasi kepada situasi yang lain. Jalan-jalan untuk mencapai tujuan itu beraneka ragam, ada yang dibenarkan dan ada pula yang dilarang. Oleh karena itu, hilah itu banyak jenisnya dan berbeda-beda pula status hukumnya lantaran perbedaan tujuannya. Macam-macam Hilah, yaitu:
· Sebab-sebab syariat yang diciptakan untuk suatu maksud tertentu bila dijalankan menurut garis syariat
· Tindakan-tindakan yang pada dasarnya disyariatkan bila dikhidmatkan kepada tujuan yang diciptakan untuknya atau digunakan mencapai tujuan yang bukan diciptakan untuknya akan tetapi, masih termasuk yang dibolehkan atau dituntut oleh syariat. Misalnya membuang sesuatu yang mengganggu, memberantas kezhaliman dan lain sebagainya.
· Transaksi-transaksi yang pada dasarnya disyariatkan yang dijalankan untuk mencapai sesuatu yang diharamkan.
· Transaksi-transaksi yang pada dasarnya diharamkan bila dijalankan untuk mencapai tujuan yang diharamkan. Misalnya berdaya upaya untuk mentalak istrinya dengan menuduhnya istrinya sudah murtad.
· Transaksi-transaksi yang diharamkan bila dikehendaki untuk mencapai maksud yang baik. Misalnya meminta persaksian saksi palsu.
BAB IV
HAK ALLAH DAN HAK HAMBA
A. Hak Allah Yang Murni 1. Ibadah. Tidak lain adalah semacam amal untuk bertaqarrub mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dintinjau murni dan tidaknya tujuan beribadat, maka ibadat itu ada 2 (dua) macam.
a. Ibadah mahdhoh seperti salat wajib, puasa dan haji.
b. Ibadah fiha ma'nal ma'unah, yaitu ibadah yang mengandung makna beban kewajiban. Misalnya mengeluarkan zakat fitrah
Adapun mengenai zakat harta menurut Imam-imam Mazhab selain Imam Abu Hanifah termasuk ibadah ini. Karena zakat harta di samping dikenakan kepada orang mukallaf juga kepada selainhya. Sedangkan menurut Iman Abu Hanifah zakat harta itu termasuk ibadah mahdhah. Sehingga yang dikenakannya hanyalah harta orang mukallaf saja.
2. Adhdhara'ibul-maliyah (pajak-pajak harta kekayaan), yang mencakup:
· Pajak tanah pertanian
· Seperlima dari harta rampasan perang
· Seperlima dari harta yang diperoleh dari perut bumi
· Harta Fa'i
3. Al-uqubat
· Uqubat kamilah
· Uqubat qashirah
· Uqubat fiha ma'nal ibadah
B. Campuran antara hak Allah dan hak Hamba, tetapi hak Allah lebih kuat
Misalnya dua hak yang berkumpul pidana had menuduh zina. Dari segi memelihara kehormatan bagi manusia dan menghindari permusuhan sesama maka pemberian hukuman had bagi penuduh zina merupakan kemaslahatan masyarakat, karena itu menjadi hak Allah. Dari segi bahwa ia dapat menolak tuduhan keji yang dilemparkan kepada wanita yang baik dan menyatakan kemuliaannya dan terpeliharanya dari berbuat maksiat, merupakan kemaslahatan perseorangan. Karena itu menjadi hak orang yang memperoleh manfaat. Akan tetapi, segi yang pertama dalam pemberian hukuman had ini lebih menonjol, maka hak Allah lebih kuat.
C. Campuran antara hak Allah dan hak Hamba, tetapi hak Hamba lebih kuat
Misalnya Jarimah qishash bagi orang yang membunuh dengan sengaja. Jarimah ini ditinjau dari segi bahwa ia mengandung pemeliharaan atas kehidupan dan pengamanan atas jiwa manusia . Karena itu menjadi hak Allah. Sedangkan dari segi bahwa ia dapat memadamkan api kemarahan dan mengobati hati yang hendak menuntut balas, ia merupakan kemaslahatan bagi perseorangan. Karena itu ia menjadi hak bagi orang yang kena musibah. Oleh karena itu si pembunuh tidak dijatuhi hukuman qishash dan dapat pula diampuni oleh si wali.
D. Hak Hamba Yang Murni
Hak-hak orang mukallaf yang murni mencakup hak-hak kebendaan dan hak-hak yang berkaitan dengan kebendaan. Misalnya menerima harga barang yang dijual, menerima upah kerja, menerima ganti rugi dan lain sebagainya.
BAGIAN KELIMA
IJTIHAD, IFTA', TAQLID DAN TALFIQ
BAB I
IJTIHAD
1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar'i dari dalil-dalil syara', yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Orang-orang yang mampu berijtihad dengan jalan ini disebut dengan Mujtahid.
Ø Skop Ijtihad
· Peristiwa-peristiwa yang ditunjuk oleh nash yang zhanniyulwurud (hadits-hadits ahad) dan zhanniyud dalalah (nash al-Quran dan al-Hadits yang masih dapat ditafsirkan dan di takwilkan.
· Peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya sama sekali. Peristiwa semacam ini dapat dijtihadkan.
· Peristiwa-peristiwa yang sudah ada nanshnya yang qathiyutstsubut dan qathiyud dalalah.
Ø Fase Ijtihad
· Masa Rasulullah SAW
Rasulullah SAW sangat sering berijtihad, memerintahkan kepada sahabat untuk berijtihad dan mengakui hasil ijtihad mereka.
· Masa Khalifah Abubakar RA
Masalah pertama yang diselesaikan sepeninggal Rasulullah SAW adalah mereka-mereka yang membangkang membayar zakat, Abu Bakar berpendapat mereka harus diperangi sampai mau membayar zakat. Umar Bin Khattab tidak setuju, kenapa harus diperangi mereka ahli syahadat Rasulullah melarang untuk membunuhnya.
Ketika keadaan umat Islam sibuk memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, para qari banyak yang meninggal dunia dan Umar Khawatir al-Quran akan hilang bersama kematian para penghafal al-Quran, maka Abu Bakar disarankan agar menulis dan mendewankan al-quran. Dalam pertemuan itu Umar bin Khattab mengundang bahaya sedikit pun, bahkan mengandung kebaikan bagi Islam. Akhirnya terjadilah kesepakatan dan terus dibentuk panitia yang terdiri dari para hafizh al-Quran untuk melaksanakan keputusan yang telah disepakati bersama.
· Masa Khalifah Umar Bin Khattab
Masa Khalifah Umar bin Khattab banyak menghadapi peristiwa yang belum pernah dihadapi oleh siapa pun. Oleh karena itu beliau berijtihad bukan hanya terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya akan tetapi, beliau berijtihad berdasarkan kemaslahatan yang dibakukan oleh al-Qur'an dan sunnah dan mengambil petunjuk dari kemaslahatan itu.
Misalnya: Talak tiga yang diucapkan sekaligus oleh suami hanya dianggap sebagai talak satu pada zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar Ra dan pada kurun dua tahun pemerintahan Umar. Setelah itu, Umar mengetahui bahwa orang-orang banyak yang menyeleweng dari syariat Allah, sebagai pengajaran bagi si penalaq sendiri dan tempat menghindar bagi orang lain, lalu Khalifah Umar bin Khattab memberlakukan talaq tiga sekaligus jatuh tiga)
Ø Ijtihad Fardi dan jama’i
· Setiap ijtihad yang belum atau tidak memperoleh persetujuan dari para Mujtahid terhadap suatu masalah disebut Ijtihad Fardi. Contohnya Rasulullah SAW membenarkan dan dapat menerima jawaban Muaz bin Jabal “Aku akan menggunakan ijtihad pikiranku dan aku tidak akan meninggalkanyya”
· Ijtihad Jama’i yaitu setiap Ijtihad yang telah mendapat persetujuan daripada Mujtahid terhadap suatu masalah. Contohnya Kesepakatan mereka atas saran Umar RA untuk menulis mushhaf yang sebelumnya Abu Bakar merasa keberatan hal itu dilakukan.
Ø Syarat-syarat Mujtahid
· Menguasai iklmu Bahasa Arab dengan segala macam cabangnya.
· Mengetahui Nash-Nash al-Qur’an perihal hukum-hukum syariat yang dikandungnya.
· Mengetahui Nash-Nash Hadits.
· Mengetahui maqashidus Syari’ah, tingkah laku dan adat kebiasaan manusia yang mengandung maslahat dan mudharat dan sanggup mengetahui illat hukum serta bisa menganalogi peristiw-istiwa yang lain.
Ø Keahlian Mujtahid tidak terbatas kepada satu bidang. Artinya seorang Mujtahid potensi berpikir untuk memahami nash-nash dan mengistimbatkan hukum dan mencari hukum peristiwa yang tidak ada nashnya. Potensi itu sudah terpadu dalam jiwanya, tidak mungkin dia mampu berijtihad dalam satu maudhu’ saja melainkan harus menguasai secara keseluruhan.
Ø Tingkatan Mujtahid.
· Mujtahid fisy-syar’i. Yaitu orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah syariat yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad.
· Mujtahid fii-madzhab. Yaitu Mujtahid yang hasil ijtihadnya tidak sampai membentuk madzhab tersendiri, akan tetapi mereka cukup mengikuti salah seorang Imam Madzhab.
· Mujtahid fii- masail. Yaitu Mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu madzhab bukan kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum.
· Mujtahid Muqayyad. YaituMujathid yang mengikatkan diri dan menganut pendapat-pendapat ulama salaf dengan mengetahui sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya.
Ø Hukum berijtihad dan pahalanya
Sebagai imbalan seorang Mujtahid dalam berijtihad, sekalipun ijtihadnya tidak tepat, ia akan diberi Tuhan satu pahala, kalau ijtihadnya tepat dan benar ia akan mendapat pahala ganda.
Ø Apakah yang hak itu satu atau lebih
Perkara-perkara yang diketahui ketentuan hukumnya berdasarkan nash yang qath’i itu bukan menjadi ajang ijtihad. Maka oleh karena itu, yang benar hanya ada satu. Sedangkan perkara-perkara yang dipersilisihkan antara para Mujtahid, lantaran perbedaan situasi, kondisi, lingkungan dan pandangan, maka dalam hal ini sebagian ulama berpemdapat bahwa yang haq itu tidak terbatas hanya satu.
Ø Perbedaan hukum hasil ijtihad lantara perbedaan lingkungan. Baik ijtihad perorangan maupun ijtihad kelompok tidak dimaksukan untuk menentukan hukum-hukum yang dapat diterapkan kepada seluruh dunia Islam pada setiap masa. Sebab perbedaan hukum lantaran perbedaan situasi.
Ø Pembatalan ijtihad
· Apabila seseorang berijtihad untuk dirinya sendiri dan setelah hasil ijtihadnya diamalakan ketahuan kesalahannya, maka ia membatalkan ijtihadnya.
· Apabila seseorang berijtihad untuk kepentingan memberikan fatwa atau keputusan suatu persengketaan dan kemudian ternyata apa yang telah difatwakan atau yang diputuskan itu bertentangan dengan suatu nash atau ijma’
Ø Kehujjahan ijtihad
Seluruh ulama sepakat tentang kehujjahan ijtihad bila ijtihad itu berkaitan dengan nash-nash syariat dari segi ketetapannya atau dalalahnya, keumumannya atau kekhususannya atau berkaitan dengan juz’iyat dari segi atau tidaknya dimasukkan ke dalam nash.
Akan tetapi, jika ijtihad itu untuk mengetahui hukum syariat suatu peristiwa yang belum ditetapkan oleh nash, hal ini perbedaan pendapat, yaitu:
· Golongan syi’ah, Muktazilah dan Zhahiriyah menetapkan ketiadaan ijtihad menjadi hujjah.
· Golongan Jumhurul Muslimin membolehkannya baik menurut logika maupun syariat. Dan pada waktu sangat diperlukan menjadi wajib. Pendapat ini dikemukakan oleh sahabat, tabiin, imam-imam yang empat dan kebanyakan fuqaha
Argumentasi yang dikemukakan oleh ulama yang menolak ijtihad sebagai hujjah, antara lain:
· Bahwa nash-nash al-quran dan hadits sudah cukup untuk mengenal hukum-hukum syariat yang diperlkukan oleh manusia.
· Sebagian dari nash syariat ada yang menunjuk ketiadaan penggunaan ra’yu, sebagaimana tersevbut dalam QS. An-Nisa: 59
· Sahabat-sahabat banyak yang mencela penggunaan ra’yu di dalam urusan agama.
Jumhur ulama yang membolehkan ijtihad sebagai hujjah, berargumnentasi, QS. An-Nisa: 59.
Ø Kevakuman Mujtahid
· Sebagian ulama mendukung mazhab Hanabilah menetapkan tidak boleh jadi, dalam suatu masa terjadi kekosongan seorang Mujtahid yang menegakan hujjah syar’iyah di antara umat manusia.
· Sebagian ulama mengatakan bahwa ijtihad itu berhenti dan karenanya tiada orang yang berhak menyandang gelar Mujtahid semenjak berakhirnya masa imam madzhab yang empat.
· Imam Ghazali juga sependapat masa sekarang ini terdapat kekosongan Mujtahid.
BAB II
I F T A
Ø Orang awam dan Mujtahid
Dalam hal ini terbagi kepada 2 (dua) kelompok;
· Kelompok orang-orang yang sanggup berijtihad dan mampu melaksanakanya.
· Kelompok orang-orang yang tidak memiliki sarana ijtihad dan karenanya tidak mampu melaksanakannya. Mereka itulah golongan terbesar yaitu orang-orang awam.
Ø Sifat ideal bagi Mufti.
· Kuat niatnya
· Berpengetahuan, sabar, penuh hormat dan tenang
· Kuat terhadap yang dikuasainya dan terhadap yang diketahuinya
· Mengenal masyarakat.
Ø Kewajiban Mufti.
· Tidak memberikan fatwa sewaktu dalam gundah gulana
· Menghadapkan hatinya kepada Allah SWT
· Mengusahakan hukum yang difatwakan diridhai oleh Tuhan
Ø Mufti Muqallid
Mufti Muqallid bukan Mufti sesungguhnya, tetapi dia adalah penyampai fatwa orang yang ditaqlidnya. Dalam hal ini dia harus menerangkan nama Imam yang diambil bukan hanya disebutkan terdapat dalam kitab madzhab saja.
Ø Persamaan dan perbedaan antar member keputusan dan member fatwa
Persamaan:
· Memahami peristiwa
· Memahami hukum syar’i.
Perbedaan:
· Memberi fatwa itu lebih luas jangkauannya
· Keputusan diberikan kepada orang yang dikalahkan dan harus dilaksanakan, sedangkan fatwa memilih untuk mengikuti fatwa yang diberikan atau meninggalkannya
· Keputusan hakim yang berlawanan dengan fatwa seorang Mufti tetap dijalankan. Fatwa tidak dapat membatalkan keputusan hakim
· Seorang Mufti tidak dapat member keputusan.
BAB III
TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA’
Ø Ta’rif
Taqlid adalah mengikuti pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilannya. Sedangkan Talfiq mengambil pendapat dari seorang mujtahid kemudian mengambil dari seorang mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun yang berbeda.
Ø Hukum Taqlid dan Talfiq
Menurut pendapat al-Amidi, Ibnu Najib dan kaml Humam bahwa bertaqlid kepada seorang mujtahid tertentu tidak wajib. Jumhur Ushuluddin berpendapat bahwa orang awam yang tidak mempunyai kesanggupan berijtihad, wajib mengikuti pendapat para mujtahid dan mengambil fatwanya.
Sedangkan Hukum Talfiq, jumhur ulama mengklasifikasi kepada dua macam, yakni:
· Talfiq yang diperbolehkan. Yaitu mengambil yang teringan di antara beberapa masalah yang berbeda-beda.
· Talfiq yang tidak diperbolehkan. Yaitu mengambil yang ringan dari pendapat para mujtahid dalam satu masalah.
Ø Ittiba’
Yaitu mengikuti pendapat orang lain dengan mengemukakan argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang diikuti dan mencela taqlid bagi orang-orang yang memiliki syarat-syarat ijtihad.
BAGIAN KEENAM
PERLAWANAN ANTARA DALIL-DALI NASH
(TA’ARUDH DALALAH)
BAB I
PENGERTIAN DAN SYARAT-SYARAT TA’ARUDH
Ta’arudh Dalalah adalah perlawanan antara kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain. Perlawanan itu dapat terjadi ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an yang lain, Hadits Ahad dengan Haditas Ahad yang lain antara Qiyas dengan Qiyas yang lain.
BAB II
DERAJAT DALIL-DALIL YANG BERLAWANAN DAN CARA MENGATASINYA
Ada 2 (dua) macam derajat dalil-dalil yang saling berlawanan
Ø Derajat kedua dalil yang berlawanan itu qath’i semuanya, baik qath’i tsubut maupun qath’iyuddalalah. Misalnya kedua berupa ayat al-Qur’an yang dalalahnya tidak dapat dita’wilkan kepada arti yang lain atau keduanya Hadits Mutawatir yang dalalahnya pun demikian.
Ø Kedua dalil yang berlawanan itu qath’i tsubut semuanya, akan tetapi salah satu dari keduanya zhanniyuddalalah.
BAB III
NASAKH
Nasakh adalah memindahkan, akan dan menghilangkan. Dalil syara’ yang datang lebih dulu dan telah dihapus hukum yang ditunjuknya disebut Mansukh dan dalil syara’ yang datang kemudian untuk menghapusnya disebut Nasakh.
Dasar Hukum Nasakh QS. Al-Baqarah: 106, QS. an-Nahl: 101, QS. Ar-Ra’du: 39.
Ø Golongan yang mengingkari nasakh
· Imam Abu Muslim Al-Asfahani, seorang ulama Mu’tazilah yang sangat alim dalam ilmu tafsir dan ilmu kalam, mengingkari adanya nasakh dalam al-Qur’an.
· Orang-orang Yahudi;
· Orang-orang Nasrani;
Ø Golongan yang menerima nasakh
1. Rukun dan syarat-syarat nasakh
2. Macam-macam nasakh dan hukumnya
Dilihat dari ujud dalil yang dinasakh hukum dan dalil yang digunakan menasakhnya, nasakh itu bermacam-macam, yaitu:
a. Naskhul Kitabil-Kitab
b. Naskhul Kitabis-Sunnah
c. Naskhul Sunnah bis-sunnah
d. Naskhul Sunnah bil-kitab
e. Naskhul ijma bil ijma
f. Naskhul ijma bin –Nash
g. Naskhun Nash bil ijma
h. Naskhul Qiyas bil-Qiyas
i. Naskhul Qiyas bin Nash dan sebaliknya
3. Pembagian nasakh dari ujud yang dinasakh
1. Membatalkan bunyi teks undang-undang, tetapi memberlakukan hukumnya
2. Menghapus hukumnya, sedang bunyi teks undang-undangnya mashi tetap ada
4. Naskhu Kully dan Naskhu Juz’i
1. Naskhu Kully adalah suatu hukum yang telah ditetapkan oleh syariat sejak semula secara keseluruhan bagi setiap individu orang mukallaf.
2. Naskhu Juz’i adalah membatalkan berlakunya hukum kepada sebagian individu tertentu. Artinya dapat berbentuk penetapan hukum untuk umum, namun hukum itu tidak diberlakukan untuk umum.
5. Cara-cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh
Ahli uhsul Fiqh walaupun berbeda-beda dalam mengutarakan cara-cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh, namun pada prinsipnya sama. Abdul Qadir Al-Baghdadi mengemukakan hal-hal yang dapat membedakan antara nasakh dan mansukh dari jurusan lafazh dan makna, yaitu:
Ø Adanya nash yang menerangkan bahwa salah satunya menjadi penasakh yang lain yaitu perkataan Aisyah RA bahwa susuan yang sepuluh kali itu dinasakh dengan lima kali saja.
Ø Dibarengi dengan lafazh yang menunjukan sebagai nasikh terhadap yang terdahulu. Misalnya, “Sekarang Allah meringankan kepada mu….
Ø Adanya dalil yang saling berlawanan dan tidak dapat dikompromikan.
BAB IV
T A R J I H
1. Ta’rif Tarjih
Tarjih adalah perbuatan meneliti dalil yang nampaknya berlawanan itu tidak diketahui mana yang datangnya terkemudian. Dalam menghadapi keadaan demikian ini seorang Mujtahid hendaklah meneliti mana di antara dalil tersebut yang lebih kuat. Oleh Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa Tarjih itu hanya berlaku pada dua nash yang zhanni, karena zhanni itu berbeda kekuatannya.
2. Syarat-syarat Tarjih
Ø Adanya persamaan antara dua dalil tersebut tentang ketsubutannya (status ketetapan dalilnya).
Ø Adanya persamaan dalam kekuatannya
3. Jalan untuk mentarjih
Ø Meneliti keadaan sanadnya, dapat berupa:
· Mendahulukan nash yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih terpercaya daripada perawi kurang terpercaya.
· Mendahulukan periwayatan orang yang menerima Hadits atau mengetahui peristiwa secara langsung daripada orang yang menerimanya tidak langsung.
· Mendahulukan periwayatan orang yang banyak bergaul dengan Nabi daripada orang yang tidak banyak bergaul.
· Mendahulukan periwayatn orang yang masih kuat hafalannya daripada orang yang sudah rusak hafalannya lantaran lanjut usia.
· Mendahulukan periwayatan sahabat besar daripada periwayatan sahabat kecil.
· Mendahulukan Hadits yang ditakhrijkan oleh Bukhari dan Muslim daripada yang ditakhrijkan oleh lainnya.
· Mendahulukan Hadits yang banyak diriwayatkan orang.
Ø Meneliti keadaan matannya, dapat berupa mentarjih dalil yang lebih jelas atau kuat dalalahnya daripada yang kurang kuat. Seperti mendahulukan lafazh hakikat daripada lafazh majaz.
Ø Mentarjih perlawanan antar dua qiyas.
Jika terjadi perlawanan antara dua qiyas, hendaklah ditarjihkan dengan cara-cara sebagai berikut:
· Jika hukum asal salah satu qiyas itu qath’i dan yang lain zhanni, maka ditarjih yang qath’i.
· Jika illat salah satunya dinyatakan dalam nash dan yang lain hanya hasil istinbat, maka ditarjihkan yang manshush.
· Jika salah satu illatnya lebih cocok daripada yang lain, dipilih yang lebih cocok.
· Jika maslahat yang diperoleh salah satunya lebih penting daripada yang lain, dipilih yang mengandung kemaslahatan yang penting.
· Akhirnya jika seorang Mujtahid gagal dalam mentarjihnya menurut salah satu cara-cara tersebut, hendaklah ia mengamalkan menurut kemantapan hatinya.
4. Perbedaan antara nasakh dengan tarjih.
Ø Tarjih tidak akan terjadi kalau tidak pada dalil-dalil yang zhanni. Sedang nasakh dapat terjadi pada dalil-dalil yang qath’i sebagaimana halnya terjadi pada dalil-dalil yang zhanni.
Ø Dalil yang rajih setelah mentarjihkan dalil yang melawaninya tetap dalam keadaan zhanni. Sebab tarjih itu merupakan perbuatan ijtihad yang zhanni. Sedang dalil yang menasakh kadang-kadang qath’i bila dalil yang menasakh itu qath’i dan kadang-kadang zhanni bila yang dinasakhnya berupa dalil zhanni.
BAB V
TAUFIQ
(Mengumpulkan dua dalil)
CARA-CARA
MENTAUFIQKAN DUA DALIL
YANG BERLAWANAN
Ø Mena'wilkan salah satu nash itu sehingga tidak berlawanan dengan nash yang lain. Misalnya Hadits Abu Hurairah, Bahwa Rasulullah SAW bersabda:"Tidak ada penularan, ramalan jelek, penyusupan (reinkarnasi) roh (orang yang meninggal kepada burung hantu) dan tidak ada bencana bulan safar" Hadits menceritakan bahwa tidak ada penularan penyakit dari seseorang kepada orang lain. Hadits tersebut secara lahirnya berlawanan dengan sebuah hadits, yang artinya, “Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa dan seterusnya (HR. Bukhari Muslim).
Hadits kedua memberi kesan adanya penularan penyakit.
Untuk menjama' dan mentaufiq dua hadits tersebut dapat ditempuh dengan mena'wilkan arti “La ‘adwa”hadits pertama sebagai berikut: “Penyakit itu tidak dapat menular dengan sendirinya. Tetapi yang menularkannya secara hakiki adalah Allah dengan sebab adanya percampuran antara orang yang sakit dengan orang yang sehat melalui media-media yang berbeda-beda satu sama lainnya. Pena'wilan semacam ini dikemukakan oleh Ibnus Shalah berdasarkan firman Allah SWT QS. Al-Baqarah: 180)
Ø Salah satu nash dijadikan takhshish terhadap nash yang lain.
Misalnya Hadits Ibnu Umar yang menceritakan, bahwa Nabi Muhammad SAW ditanyai tentang air yang berada di tanah lapang dan yang silih berganti dimanfaatkan (diminum, mandi, dikencingi dan lain-lain), oleh binatang raja kaya dan binatang buas. Rasulullah SAW lalu menjawab: “Bila air itu mencapai dua kullah, maka tidak mengandung najis". Dalalah dari Hadits Ibnu Umar tersebut menunjukkan kesucian air yang sebanyak dua kullah secara mutlaq, baik berubah rasa, bau dan warnanya maupun tidak berubah sama sekali.
Hadits Ibnu Umar ini nampaknya berlawanan dengan Hadits Ibnu Mas'ud Ra. Yang mengatakan bahwa: Rasulullah SAW bersabda: “Allah telah menjadikan air itu suci. Sesuatu tidak dapat menjadikannya najis, selain apa yang merubah rasa, warna atau baunya". Hadits ini menetapkan kesucian yang tidak berubah rasa, warna atau baunya, baik air itu kurang dua kullah maupun lebih.
Cara mengumpulkan dan mengkompromikan kedua Hadits tersebut ialah dengan mentakhshishkan keumuman mamsing-masing sebagai berikut:
· Keumuman Hadits pertama bahwa setiap air yang mencapai dua kullah adalah suci dan dapat mensucikan di takhshish oleh hadits kedua. Hasilnya adalah bahwa air yang sebanyak dua kullah itu dapat menjadi najis (tidak dapat untuk bersuci) bila berubah rasa, warna atau banunya.
· Keumuman Hadits kedua tentang kesucian air yang tidak berubah rasa, warna dan baunya ditakhshish oleh Hadits pertama, sehingga menghasilkan ketetapan bahwa air yang tidak berubah sifat-sifatnya itu dapat menjadi najis (tidak dapat untuk bersuci) bila jumlahnya kurang dari dua kulla.
BAGIAN KETUJUH
QAIDAH FIQHIYAH
Ushulusy-Syari'ah (dasar-dasar Syariat Islam) menurut Imam Ahmad bin Idris al-Qurafi terdiri atas dua bagian. Pertama Ushulul-Fiqih dan Kedua Qawa'idul-Fiqhiyah.
Ushul-Fiqhi adalah kaidah-kaidah hukum yang dipetik dari bahasa Arab itu sendiri. Misalnya lafazh yang ditinjau dari segi makna yang disengaja diciptakan ada yang mutlaq, muqayyad, umum, khusus dan lain sebagainya. Ditinjau dari segi pemakaiannya ada yang hakikat, majaz, shareh, kinayah, dan lain sebagainya. Sedangkan qaidah fiqhiyah adalah kaidah-kaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah-masalah fiqhi yang menjadi pedoman untuk menetapkan hukum setiap peristiwa fiqhiyah baik yang telah ditunjuk oleh nash yang shareh maupun yang belum ada nashnya sama sekali. Di samping itu juga kaidah fiqhiyah berfungsi sebagai tempat bagi para Mujtahid mengembalikan seluruh seluk beluk masalah fiqhiyah, juga sebagai kaidah untuk menetapkan hukum yang baru.
Syaikh Izzudin bin Abdus-Salam mengatakan bahwa segala masalah fiqhiyah itu hanya kembali kepada dua qaidah induk yaitu: “Menolak segala yang rusak dan menarik segala yang bermaslahat".
Al-Qadhi Abu Sa'id mengatakan ulama Syafi'iyah memulangkan seluruh ajaran Imam Syafi'ie kepada 4 (empat) kaidah:
1. Keyakinan itu tidak dapat dikalahkan oleh keraguan;
2. Kesukaran dapat menarik kepada kemudahan;
3. Kemudharatan harus dilenyapkan;
4. Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum;
Oleh ulama mutaakhirin menambah satu kaidah lagi yaitu: “Segala urusan tergantung kepada tujuannya".
BAB I
LIMA KAIDAH INDUK
(Qawa'idul Khams)
1. Qaidah Pertama: “Segala urusan tergantung kepada tujuanya”
Niat yang ada dalam sanubari manusia adalah menjadi kriteria yang menentukan amal yang dilakukan seoarang manusia. Apakah nilai dari perbuatan itu sebagai amal syari'at atau perbuatan kebiasaan dan apakah status hukumnya. Jika ia sebagai amal syari'at wajib atau sunnat atau lain sebagainya ditentukan oleh niat pelakunya. Adapun sumber pengambilannya adalah:
a. QS. Al-Imran: 145 yang artinya: “Barangsiapa yang menghendaki pahala dunia Kami berikan pahala itu dan barang siapa menghendaki pahala akhirat Kami berikannya pahala itu. Dan Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur".
b. Hadits;
“Amal-amal itu hanyalah dengan niat...”(HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Imam Abu Ubaidah, "Tak ada satu Hadits yang lebih kaya dan banyak faedahnya daripada Hadits niat ini. Imam Syafiie, Imam Ahmad, Abu Daud, ad-Daruquthni dan lainnya sepakat menetapkan bahwa Hadits niat ini menempati sepertiga dari seluruh ilmu pengetahuan Islam.
2. Qaidah Kedua: “Keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan"
Ø Sumbernya:
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, lalu timbul kemusykilan apakah sesuatu itu keluar dari perut atau tidak, maka janganlah keluar dari mesjid, sehingga ia mendengar suara atau mendapatkan baunya"
Ø Qaidah-qaidah yang ditarik daripadanya:
1. Menurut dasar yang asli memberlakukan keadaan semula atas keadaan yang ada sekarang. Misalnya: Seseorang merasa yakin telah berhadats. Tiba-tiba ia ragu-ragu, apakah tadi sudah bersuci atau belum. Dalam hal ini ia ditetapkan berhadats seperti keadaan semula, karena ini yang sudah diyakini.
2. Menurut dasar yang asli tiada tanggung jawab. Misalnya: terdakwa yang menolak angkat sumpah tidak dapat diterapkan hukuman. Karena menurut asalnya ia bebas dari tanggungan dan yang harus angkat sumpah ialah si pendakwa.
3. Menurut dasar yang asli ketiadaan sesuatu. Misalnya: Jika seseorang yang menjalankan modal orang lain (mudharabah) melaporkan kepada pemilik modal bahwa ia tidak memperoleh keuntungan atau mendapat keuntungan tetapi sedikit sekali, maka laporan orang yang menjalankan modal (mudharib) ini yang dibenarkan. Karena memang sejak semula diadakan perikatan mudharabah belum ada keuntungan. Belum memperoleh keuntungan adalah hal yang sudah nyata karena belum bertindak, sedang memperoleh keuntungan yang diharapkan merupakan hal-hal yang belum pasti.
4. Asal sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjuk keharamannya. Misalnya: Segala macam binatang yang sukar untuk ditentukan keharamannya lantaran tidak didapatkan sifat-sifat dan ciri-ciri yang dapat diklasifikasikan kepada binatang haram, adalah halal dimakan.
5. Asal setiap peristiwa penetapannya menurut masa yang terdekat dengan kejadiannya. Misal: Seorang dokter dalam mengoperasi kandungan seorang ibu untuk mengeluarkan bayi yang ada di dalamnya berhasil dengan sukses dan bayi yang telah dikeluarkan dapat hidup dalam beberapa hari. Tapi seminggu kemudian bayi tersebut meninggal. Dalam persoalan ini sang dokter tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas kematiannya. Sebab ada kemungkinan kematiannya dikarenakan oleh sebab-sebab lain yang mendekatinya peristiwa kematiannya.
6. Barangsiapa ragu-ragu apakah ia mengerjakan sesuatu atau tidak, maka menurut asalnya ia dianggap tidak melakukannya. Misalnya: Seseorang ragu-ragu sewaktu mengerjakan shalat, apakah ia mengerjakan i'tidal atau tidak, maka ia harus mengulang mengerjakannya, sebab ia dianggap seolah-olah tidak mengerjakannya.
7. Barangsiapa meyakinkan berbuat dan meragukan tentang banyak atau sedikitnya, maka dibawanya kepada yang sedikit. Misalnya: Seseorang ragu-ragu dalam rakaat shalat, 3 rakaat atau 4 rakaat, maka ia harus memilih 3 rakaat.
8. Menurut dasar yang asli dalam pembicaraan adalah yang hakiki. Misalnya: Seseorang bersumpah tidak akan menjual atau membeli sesuatu barang. Kemudian ia mewakilkan kepada orang lain untuk menjual atau membeli sesuatu. Perbuatan semacam itu tidak dapat dikatakan melanggar sumpah, karena tidak bertentangan dengan arti hakikat lafazh itu sendiri.
3. Qaidah Ketiga: "Kesukaran itu menarik kemudahan"
Ø Sumbernya:
1. Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah: 185
2. Hadits Rasulullah SAW, yang artinya: “Aku diutus oleh Tuhan dengan membawa agama yang penuh kecendrungan dan toleransi".
3. Semakna dengan kaidah tersebut adalah perkataan Imam Syafi'ie, “Apabila urusan itu menyempit, longgarlah ia".
Ø Misalnya: Kesulitan seseorang menjalankan shalat dengan berdiri memberikankeringanan pada menegerjakannya dengan duduk, bila keringanan ini masih juga terasa berat ia diperbolehkan mengerjakan dengan berbaring. Dan bila keringanan yang terakhir ini masih merupakan keberatan ia diizinkan shalat dengan meengerdipkan mata saja.
4. Qaidah Keempat: "Kemudharatan itu harus dilenyapkan"
Ø Sumbernya:
1. Firman Allah SWT QS. Al-Qashash: 77)
2. Hadits Rasulullah SAW, yang artinya: "Sungguh Allah itu tidak senang kepada orang-orang yang pada membuat kerusakan"
Ø Peranannya: Sebagai pembina dasar fiqh-islami dalam muamalat, jinayat dan muamalat jiwa, dari kaidah tersebut memegang peranan utama.
5. Qaidah Kelima: "Adat kebiasaan itu ditetapkan sebagai hukum"
Ø Sumbernya: Hadits Rasulullah SAW, yang arttinya: "Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah pun baik." (HR. Ahmad).
Ø Misalnya: Menurut kebiasaan yang berlaku makanan yang disuguhkan kepada tamu, boleh dimakan tanpa membayar, tetapi jika ada ketentuan yang lain, hendaknya ada keterangan lebih dahulu dengan menyodorkannya daftar harga, maupun dengan pengumuman.
BAB II
QAIDAH KULLIYAH
Para ahli ushul Fiqih tidak dalam satu pendapat dalam menetapkan jumlah qaidah kulliyah ini seperti halnya dalam menetapkan qaidah kulliyah induk. Berikut akan mengemukakan beberapa qaidah kulliyah yang dapat diterima oleh kebanyak ahli ushul.
Qaidah Ke-1: Ijtihad itu tidak batal karena ijtihad
Apabila seorang Mujtahid mengijtihadkan suatu masalah dan setelah hasil ijtihad itu dijalankan tiba-tiba ia mengijtihadkan kembali. Sesuai dengan qaidah di atas, maka hasil ijtihad ulangan ini tidak dapat membatalkan hasil ijtihadnya yang pertama sebagaimana halnya ijtihad yang dilakukan orang lain terhadap masalah itu tidak dapat membatalkan ijtihadnya. Sebab ijtihadnya yang kedua bukan dianggapnya lebih kuat daripada hasil ijtihad yang pertama.
1. Qaidah tersebut bersumber dari Ijtima'us shahabat. Misalnya, dalam memberikan sanksi kepada tawanan perang badar, Abu Bakar mengambil keputusan agar mereka membayar tebusan. Sedang menurut Umar agar mereka mengambil tindakan keras yaitu dihabisi nyawanya. Ijtihad Umar Ra ini setelah mendapat penguat wahyu, QS. Al-Anfal: 67 dijalankan tanpa membatalkan keputusan Abu Bakar Ra yang berdasarkan Ijtihadnya.
2. Contoh untuk qaidah ke-1, yaitu:
Seseorang menjalankan shalat dengan menghadap kiblat sesuai dengan hasil ijtihadnya. Setelah berjalan beberapa rakaat ia merubah arah kiblat menurut pikirannya yang baru dan terus menyelesaikan shalatnya dengan menghadap kiblat yang berlainan dengan yang dikerjakan pada rakaat sebelum menemukan arah kiblat yang baru. Dalam keadaan yang demikian itu ia tidak wajib mngulang rakaat-rakaat yang telah selesai dikerjakan dengan kiblatnya yang berlainan.
Qaidah Ke-2: Hukuman Had gugur karena samar-samar
Seorang Hakim harus berkeyakinan bahwa orang yang melakukan tindak pidana itu benar-benar melakukan pelanggaran sebagaimana dikehendaki oleh nash yang shareh.
1. Qaidah tersebut bersumber dari sabda Rasulullah SAW yang artinya: "Tinggalkan Had karena syubhat" (HR. Ibnu 'Ady)
Yang dimaksud syubhat ialah suatu perbuatan yang menurut formilnya terjadi tetapi sebenarnya tidak terjadi. Misalnya, seorang mencuri harta yang dimilikinya bersama dengan orang lain. Biarpun menurut formilnya ia disebut pencuri, namun sebenarnya ia bukan pencuri yang sungguh-sungguh yang dapat dihukum, karena masih syubhat. Kesyubhatannya terletak pada batasan mencuri yang dikatakan dengan mencuri milik orang lain dari tempat simpanan yang sewajarnya dengan cara tersembunyi, tidak dapat diterapkan penuh kepadanya, sebab ia sendiri mempunyai milik yang bercampur dengan milik orang lain.
2. Contoh untuk qaidah Ke-2:
Orang yang mencuri harta milik ayahnya, kakeknya atau anaknya tidak dapat dijatuhi hukuman Had, lantaran adanya syubhat. Kesyubhatannya terletak pada harta milik. Karena mereka saling mempunyai hak atasnya.
Qaidah Ke-3: Perlakukan pemimpin terhadap rakyat disesuaikan dengan kemaslahatan
1. Qaidah tersebut bersumber dari firman Allah SWT QS. Al-Baqarah: 124)
2. Contoh untuk qaidah Ke-3:
Seorang amil yang diberi tugas membagi zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya diharamkan memberikan bagian yang lebih banyak kepada beberapa orang (golongan) saja. Padahal kebutuhan mereka adalah sama.
Qaidah Ke-4: Keluar dari perselisihan adalah terpuji
1. Qaidah tersebut bersumber dari firman Allah SWT QS. Al-Hujurat: 12)
2. Hadits Rasulullah SAW, "...Barang siapa yang dapat memelihara dari syubhat, niscaya bersih agama dan kehormatannya..." (HR Muttafaqun alaihi)
3. Contoh untuk qaidah Ke-4:
Disukai mengqashar shalat bagi orang yang berpergian sejauh 3 (tiga) marhalah (80 km) sebagai jalan keluarga dari perelisihan para ulama. Mengqashar shalat dalam keadaan berpergian dengan menganggap bukan suatu kewajiban, tapi sebagai perbuatan yang disukai, berarti sudah mencari jalan keluar dari perselisihan para ulama.
Qaidah Ke-5: Mengutakan orang lain dalam soal ibadat makruh dan dalam soal keduniaan disukai.
1. Qaidah tersebut bersumber dari firman Allah SWT QS. Al-Hasyr: 9)
2. Hadits Rasulullah SAW, "Senantiasa suatu kaum memperlambatkan dari saf awal, sehingga Allah mengakhirkan mereka, dimasukkan dalam neraka (HR. Abu Daud)
3. Contoh untuk qaidah Ke-5:
Waktu shalat telah tiba. Ada seorang yang mendapatkan air hanya cukup untuk dirinya sendiri. Tetapi air itu diserahkan kepada orang lain agar dipergunakan wudhu, sehingga dirinya sendiri tidak dapat melaksanakan shalat. Tindakan tersebut adalah tidak dibenarkan, hukumnya makruh.
Qaidah Ke-6: Pengikut itu mengikuti
Qaidah ini ialah sesuatu yang sukar untuk dipisahkan dengan pokoknya selalu mengikuti. Yakni tidak perlu ada ketentuan tersendiri, kecuali kalau memang dikehendaki demikian.
Dapat dimasukkan dalam qaidah ini ialah qaidah-qaidah:
Ø Pengikut tidak disendirikan hukumnya.
Misalnya: Hewan yang dijual dalam keadaan bunting, maka anaknya yang berada dalam perut sekaligus mengikuti induknya, tidak perlu diadakan perikatan jual beli baru, selagi tidak ada perjanjian lain.
Ø Pengikut gugur kerana gugurnya yang diikuti.
Misalnya: Seorang yang gugur kewajiban menjalankan shalat wajibnya lantaran gangguan sakit ingatan, ia tidak disunatkan menjalankan sunnat rawatib. Karena shalat fardhunya gugur, dengan sendirinya shalat sunat yang mengikutinya gugur pula.
Ø Pengikut tidak mendahalui yang diikuti.
Misalnya: Seorang makmum tidak boleh mendahului imam dalam takbiratul ihram, mengucapkan salam dan perbuatan-perbuatan lainnya.
Ø Dimaafkan pada pengikut sesuatu yang tidak dimaafkan pada lainnya.
Misalnya: Seorang menjual tanaman yang masih hijau karena mengikuti tanah yang dijualnya, diperbolehkannya. Tetapi kalau hanya menjual tanamannya saja yang masih hijau itu tidak diperkenankan, sekiranya tidak dicabut sama sekali dari tanah.
Qaidah Ke-7: Harim mempunyai hukum seperti harim itu
Harim adalah tiap sesuatu itu mempunyai daerah perbatasan yang berada disekitarnya. Contohnya: Diwajibkan membasuh sebagian dari lengan bagian atas dan sebagian betis dalam berwudhu di kala membasuh siku dan kedua mata kaki. Sebab membasuh siku tidak akan sempurna tanpa membasuh sebagian kecil lengan bagian atas dan membasuh kedua mata kaki tidak akan sempurna jika tidak membasuh sedikit betis bagian bawah.
Qaidah Ke-8: Sesuatu yang banyak dikerjakan lebih banyak keutamaannya
1. Qaidah tersebut bersumber dari Hadits Rasulullah SAW, "Pahalamu ialah sebanding dengan kepayahanmu.
2. Contoh untuk qaidah Ke-8:
Shalat sunnat dengan duduk adalah berpahala separoh shalat dengan berdiri dan shalat secara tidur adalah berpahala separoh shalat dengan duduk.
Qaidah Ke-9: Fardhu itu lebih baik daripada sunnat
1. Qaidah tersebut bersumber dari Hadits Rasulullah SAW, "Tidaklah seorang hambaKu bertaqarrub kepadaKu lebih Aku sukai daripada apa yang telah Kuwajibkan. Dan selalu hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku dengan sunnat-sunnat sampai Aku mencintainya". (HR. Bukhari)
Qaidah Ke-10: Sunnat lebih longgar daripada fardhu
Contoh: Seorang yang telah berijtihad menemukakan qiblat untuk sembahyang wajib, tidak perlu berijtihad kembali jika hendak sembahyang sunnat.
Qaidah Ke-11: Yang mudahtidak gugur karena yang sukar
1. Qaidah tersebut bersumber dari Hadits Rasulullah SAW, "Apabila aku memerintahkan kepadamu sesuatu perintah kerjakanlah semampumu dan apabila aku melarangmu sesuatu tinggalkanlah".
2. Contoh untuk qaidah Ke-11:
Seorang sembahyang yang hanya sanggup membaca sebagian surat al-Fatihah, hendaklah ia mengerjakannya dengan kesanggupan yang dimilikinya.
Qaidah Ke-12: Apabila dua buah perkara yang sama jenisnya dan tidak berbeda maksudnya berkumpul, maka salah satunya masuk kepada yang lain
Misalnya: Apabila hadats kecil berkumpul dengan hadats besar pada seseorang, maka cara menghilangkan keduanya dilakukan dengan mandi saja. Sebab jenis keduanya adalah sama, yaitu hadats dan maksudnya pun sama, yaitu untuk menjalankan sembahyang.
Qaidah Ke-13: Bila halal dan haram berkumpul, dimenangkan yang haram
1. Qaidah ini bersumber dari Hadits Rasulullah SAW, "Tidaklah berkumpul halal dan haram, kecuali yang haram mengalahkan yang halal"
Hadits ini memang terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan bahwa hadits ini Munqathi', ada yang mengatakan Mauquf, dan sebagian lagi mengatakan tidak mempunyai asal sama sekali. Namun demikian keadaannya, qaidah itu sendiri menurut Ibnu Subki, dapat diterima sebagai qaidah yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Contoh untuk qaidah ke-12:
Seorang pemburu menembak seekor binatang buruan, kena dan ia terus lari ke suatu tempat yang tinggi. Dari tempat itu ia jatuh tergelincir sampai membawa kematiannya. Pemburu diharamkan makan daging binatang tersebut. Sebab ada kemungkinan kematiannya karena luka-luka akibat tembakan, dan ada kemunginan karena luka-luka akibat jatuh tergelincir, hingga dihukumi sebagai bangkai yang haram dimakan. Berkumpulnya dua macam hukum halal dan haram pada sesuatu yang sama kuatnya, menurut qaidah di atas harus dimenangkan yang haram.
Qaidah Ke-14: Sesuatu yang ditetapkan menurut syara' didahulukan daripada yang ditetapkan menurut syarat
Misalnya: Seorang suami mentalaq istrinya dengan membayar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dengan syarat hak meruju ada padanya (suami). Maka kesediaannya membayar itu gugur dan jatuhlah talaq yang diucapkannya sebagai talaq taj'i, sebab uang itu berfungsi sebagai syarat tambahan, sedang hak meruju itu sudah ditetapkan adanya oleh syara', karenanya yang terakhir ini harus didahulukan.
Qaidah Ke-15: Sesuatu yang diharamkan menggunakan diharamkan mengambilnya
1. Qaidah ini bersumber dari Hadits Rasulullah SAW, "Dan barangsiapa menjatuhkan diri pada syubhat, maka jatuhlah ia ke perkara haram, bagaikan penggembala yang menggembala di sekitar daerah pelarangan, yang hampir-hampir ia menggembala di dalamnya."
2. Menurut pendapat yang terkuat, seseorang diharamkan mengambil dan menyimpan barang-barang maksiat, bejana-bejana yang dibuat dari emas dan perak, memelihara anjing selain anjing penjaga atau pemburu. Atas dasar pendapat yang kuat itu sebagian ahli Ushul membuat suatu qaidah, "Sesuatu yang diharamkan memakai dimakruhkan mengambilnya."
Qaidah Ke-16: Sesuatu yang diharamkan mengambilnya diharamkan memberikannya
1. Qaidah tersebut bersumber dari firman Allah SWT QS. Al-Maidah: 3)
2. Contoh untuk qaidah ke-16:
Memberikan harta riba kepada orang lain hukumnya haram sebagaimana halnya mendapatkan harta riba itu untuk dirinya sendiri.
Qaidah Ke-17: Perwalian khusus lebih kuat daripada perwalian umum
Qaidah ini sesuai dengan, "Seorang wali hakim tidak boleh mengawinkan seorang wanita yang masih mempunyai wali."
Qaidah Ke-18: Tidak dianggap sebagai zhan yang jelas salahnya
Misalnya: Jika seseorang mengira dirinya suci dari hadats, kemudian ia terus sembahyang, tetapi ternyata bahwa perkiraannya itu salah, jadi ia sudah berhadats, maka sembahyangnya tidak sah.
Qaidah Ke-19: Rela terhadap sesuatu, rela terhadap apa yang dilahirkannya
Misalnya: Jika seorang menggadai barangnya sebagai jaminan hutangnya telah mengizinkannya dengan setulus-tulusnya kepada penggadai untuk memanfaatkannya, kemudian ternyata bahwa barang yang digadai itu terdapat kerusakan, maka si penggadai tidak harus menanggung kerugiannya. Sebab kerusakan tersebut timbul dari suatu perbuatan yang telah diizinkan oleh orang yang menggadaikan.
Qaidah Ke-20: Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum masanya dihukum haram menggunakannya
Misalnya: Seseorang ahliwaris membunuh atau mengusahakan membunuh orang yang bakal mewariskan harta peninggalan kepadanya dengan maksud mempercepat mendapatkan pusaka, maka sebagai sanksi tindakannya yang terlaknat itu, ia terhalang mempusakai harta peninggalannya.
Qaidah Ke-21: Sesuatu yang tidak dicapai seluruhnya tak boleh ditinggalkan seluruhnya
Misalnya: Orang yang tak sanggup mengajar dan belajar seluruh ilmu, tidak pantas meninggalkan seluruhnya.
Qaidah Ke-22: Yang sudah dimasygulkan dengan sesuatu tidak mamsygulkan lagi
Misalnya: Suatu barang yang sudah dijadikan borg (jaminan) hutang pada kreditur, maka tidak dapat dijadikan jaminan lagi atas utang kepada lainnya. Sebab hubungan ikatan dengan yang pertama belum selesai.
Qaidah Ke-23: Sesuatu yang diwajibkan kepada yang lebih besar di antara dua hal secara khusus tidak mewajibkan kepada yang lebih kecil di antara keduanya secara umum
Misalnya: Seseorang mencuri harta milik orang lain dengan membongkar pintu. Secara umum, merusak pintu milik orang lain itu harus menggantinya dan secara khusus mencuri itu dikenakan hukuman had potong tanagan. Tetapi karena dijalankan hukuman yang lebih berat di antara dua macam hukuman tersebut, yakni potong tangan, maka hukuman dengan mengganti kerugian tersebut tidak perlu dijalankan.
Qaidah Ke-24: Yang wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali oleh yang wajib
Oleh sebagian ahli ushul qaidah tersebut diubah dengan, : "Yang wajib tidak dapat ditinggalkan untuk sunnat
Misalnya: Melaksanakan hukum memotong tangan dalam pidana pencurian itu adalah wajib. Sebab seandainya tidak diwajibkan, niscaya melakukan memotong tangan itu adalah diharamkan karena perbuatan itu merupakan tindak pidana melukai anggota tubuh.
Qaidah Ke-25: Hukum itu berputar bersama illatnya dalam mewajibkan dan meniadakan hukum
Misalnya: Memasuki rumah atau memakai pakaian milik orang lain tanpa izin yang memilikinya dilarang (haram), karena tidak ada kerelaan dari pemiliknya. Tetapi kalau pemiliknya mengetahui dan terus memberi kerelaan, maka hal itu diperbolehkannnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar