Kamis, 03 Maret 2016

Pelaksanaan Pernikahan Wanita Hamil (Tinjauan Imam Mazhab)


PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL
(Tinjauan Terhadap Imam Mazhab)

Oleh: Marhajadwal, S.Ag, MA

Pernikahan yang sah, menjadikan pergaulan antara laki-laki dan perempuan menjadi terhormat sesuai dengan kedudukan manusia yang berperadaban, serta dapat membina rumah tangga yang harmonis. Pernikahan juga merupakan ibadah, di samping itu sebagai wahana kebutuhan biologis. Menjadi pembuka kearah komitmen bersama untuk bertingkah laku atau bermoral,  baik dalam berkeluarga maupun bermasyarakat luas. Agama Islam juga mengisyaratkan  pernikahan  sebagai satu-satunya bentuk hidup berpasangan yang dibenarkan, yang kemudian dianjurkan untuk dikembangkan dalam bentuk keluarga. Oleh karena itu, pada tempatnyalah  apabila agama Islam mengatur masalah pernikahan dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia hidup berkehormatan. Maka prosedur pernikahan harus dilaksanakan  sesuai dengan syari’at Islam dan peraturan perundang-undang yang berlaku.                  
Para  ulama  sepakat bahwa laki-laki pezina  halal  menikahi wanita pezina.  Dengan demikian, maka pernikahan  antara laki-laki  dengan wanita yang dihamilinya  adalah sah atau boleh karena tidak bertentangan dengan firman Allah SWT. Yang artinya: Laki-laki berzina tidak boleh kawin melainkan dengan perempuan yang berzina atau perempuan musyrik,  dan perempuan berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan orang yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin. (QS. an-Nur: 3)                                                                         Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al Mishbah, maksud dari ayat ini  adalah  untuk menghindari perzinaan, karena laki-laki  dan perempuan pezina akan mendapatkan pasangan hidup yang sama, apalagi jika ingin dijadikan pasangan hidup.  Dari itu bila kita mau mendapatkan suami atau istri yang baik terlebih dahulu perbaiki tingkah laku yakni melakukan perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya.
Menurut Imam Mazhab
            Jumhur ulama menurut kebanyakan ulama fiqih berpendapat bahwa, wanita hamil sebelum nikah boleh dikawini oleh siapa saja, baik laki-laki yang menghamilinya  maupun laki-laki lain, karena kandungan yang ada pada wanita itu tidak sah keturunannya. Hal ini didasarkan alasan bahwa al-Qur’an   tidak menyebutkan wanita hamil sebelum nikah ke dalam kelompok wanita yang haram dinikahi sebagaimana firman Allah SWT. yang artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah SWT telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban, dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. an-Nisa: 23-24)
Ayat ini menerangkan terhadap  golongan perempuan-perempuan yang disebut mahram, artinya tidak dapat dikawini oleh seseorang dikarenakan hubungan darah,  hubungan persusuan  atau hubungan karena perkawinan (seperti mertua atau menantu).
1.      Imam asy-Syăfi’ĩ berpendapat bahwa nikah dengan wanita hamil sebelum nikah hukumnya boleh,  karena terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah yang artinya; “Tidak diharamkan perkara haram bila menjadi halal.”
2.      Imam Abu Hanifah berpendapat hukumnya boleh dengan dua alasan:
a.       Karena wanita zina bukan termasuk wanita yang haram untuk dinikahi
b.      Karena boleh menikahi anak hasil zina.
3.      Imam  Maliki  juga memperbolehkan  menikahi wanita  zina dengan syarat       menunggu iddah  selama tiga bulan  atau tiga kali haid.
4.      Imam  Hambali  berpendapat bahwa  wanita yang berzina baik hamil  atau tidak, dilarang dinikahkan oleh laki-laki yang mengetahui keadaannya,  kecuali bila terpenuhi dua syarat:
a.       Wanita itu telah habis iddahnya, berlaku baginya  masa tunggu sebagaimana layaknya iddah wanita yang diceraikan atau ditinggal mati, yakni tiga kali haid bagi yang tidak hamil terhitung  sejak ia melakukan zina dan melahirkan  anak bagi wanita yang hamil. Sebelum iddahnya habis ia  belum boleh menikah dengan laki-laki manapun juga.  Pendapat itu sama dengan Imam Maliki, dan keharamannya itu didasarkan ada hadith  diambil dari qiyas yang melarang menyirami kebun orang lain yang sudah mempunyai tanaman.
b.      Wanita itu telah taubat dari perbuatan maksiat (zina),  apabila ia belum tawbat maka ia tidak boleh dinikahkan dengan laki-laki manapun juga meskipun telah habis iddahnya.
Menurut KHI
            Kompilasi Hukum Islam (KHI)  Pasal 53 ayat (1) dinyatakan bahwa  seorang wanita hamil di luar nikah    dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Ayat ini  mengandung ketegasan hukum dan sekaligus menghapus keragu-raguan umat Islam tentang boleh atau tidaknya menikahkan wanita hamil karena zina, dan pada  Pasal 53 KHI ayat (2) dinyatakan: “Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu terlebih dahulu kelahiran anaknya”. Oleh karena pernikahan itu sudah dinyatakan sah menurut hukum, maka tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 53 ayat (3) KHI sebagai berikut: “Dengan dilangsungkannya pernikahan pada saat wanita hamil tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir”.
Kesimpulan
Pelaksanaan nikah wanita hamil sebelum nikah, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang sah tidaknya pernikahan  wanita hamil sebelum nikah. Di antara para ulama yang mengatakan tidak  sah baik dengan lelaki yang menzinainya atau dengan lelaki selainnya adalah kalangan Maliki dan Hambali. Sedangkan di antara yang membolehkan pernikahan wanita hamil sebelum nikah adalah  ulama dari kalangan asy-Syăfi’ĩ dan Abu Hanifah,  dikarenakan belum terkukuhkannya nasab. Para ulama asy-Syăfi’ĩ  mengatakan bahwa akad pernikahan seorang wanita hamil sebelum nikah,  baik dengan lelaki yang menghamilinya atau dengan yang lainnya adalah sah,  namun dimakruhkan baginya untuk menggaulinya sebelum dia melahirkan apa yang dikandungnya dari hasil perzinaannya. Sedangkan para ulama Abu Hanifah yang  juga membolehkan pernikahan semacam itu,  namun mengharamkan menggaulinya hingga wanita itu melahirkannya. (Marhajadwal, S.Ag, MA. Penghulu pada KUA Kec. Samatiga  Kab. Aceh Barat)

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Departemen Agama RI, Al-Qur’an danTerjemahnya
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006)

Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama (Jakarta: PT. Intermasa, 1991)

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004)

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. Ke-1, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1995)

Al-Garib al-Asfihani, Mufradat al Faz al-Quran,  (Dar al Katib  al-Arabi)

Aliy As’ad,  TerjemahFathul Mu’in, Jilid-3,  (Yogyakarta: Menara Kudus, 1979)

Ali Yafi, Menggagas Fiqh Sosial (Bandung: Mizan 1994)

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006)

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,  (Jakarta: Grafindo Persada, 2004)

Ashari Abdul Ghofar, Pandangan Islam tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil, (Jakarta: CV. Gramada, 1987)

Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004)

Departemen Agama RI., Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor: 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: 2004)
Firdaweri,   Hukum Islam tentang pernikahan (Jakarta: CV. Pedoman Jaya, 1989)

Mahjuddin, Masail al-Fiqh Kasus Aktual Dalam Islam, Cet. Ke-2, (Kalam Mulia: Jakarta, 2012)

M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur an, ( Bandung: Mizan, 1996)

-----------------------, Tafsir Al Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)

Wahab, Fiqih Islami Wa Adillatuhu, (Bairut:Darul Fikri, 1989)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar