PELAKSANAAN
PERNIKAHAN WANITA HAMIL
(Tinjauan
Terhadap Imam Mazhab)
Oleh:
Marhajadwal, S.Ag, MA
Pernikahan yang sah, menjadikan pergaulan
antara laki-laki dan perempuan menjadi terhormat sesuai dengan kedudukan
manusia yang berperadaban, serta dapat membina rumah tangga yang harmonis. Pernikahan
juga merupakan ibadah, di samping itu sebagai wahana kebutuhan biologis. Menjadi
pembuka kearah komitmen bersama untuk bertingkah laku atau bermoral, baik dalam berkeluarga maupun bermasyarakat
luas. Agama Islam juga mengisyaratkan
pernikahan sebagai satu-satunya
bentuk hidup berpasangan yang dibenarkan, yang kemudian dianjurkan untuk
dikembangkan dalam bentuk keluarga. Oleh karena itu, pada tempatnyalah apabila agama Islam mengatur masalah
pernikahan dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia hidup
berkehormatan. Maka prosedur pernikahan harus dilaksanakan sesuai dengan syari’at Islam dan peraturan
perundang-undang yang berlaku.
Para
ulama sepakat bahwa laki-laki pezina halal menikahi
wanita pezina. Dengan demikian, maka
pernikahan antara laki-laki dengan wanita yang dihamilinya adalah sah atau boleh karena tidak
bertentangan dengan firman Allah SWT. Yang artinya: Laki-laki berzina tidak boleh kawin melainkan dengan perempuan
yang berzina atau perempuan musyrik, dan
perempuan berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik, dan orang yang demikian itu diharamkan atas orang-orang
mukmin. (QS. an-Nur: 3) Menurut
M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al
Mishbah, maksud dari ayat
ini adalah untuk menghindari perzinaan, karena laki-laki dan perempuan pezina akan mendapatkan pasangan
hidup yang sama, apalagi jika ingin dijadikan pasangan
hidup. Dari itu bila kita mau mendapatkan
suami atau istri yang baik terlebih dahulu perbaiki tingkah laku yakni
melakukan perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya.
Menurut Imam Mazhab
Jumhur ulama menurut kebanyakan
ulama fiqih berpendapat bahwa, wanita hamil sebelum nikah boleh dikawini oleh siapa
saja, baik laki-laki yang menghamilinya maupun laki-laki lain, karena kandungan yang
ada pada wanita itu tidak sah keturunannya. Hal ini didasarkan alasan bahwa al-Qur’an
tidak menyebutkan wanita hamil sebelum nikah
ke dalam kelompok wanita yang haram dinikahi sebagaimana firman Allah SWT. yang
artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara
perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah SWT telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)
mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka
istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban, dan tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(QS. an-Nisa: 23-24)
Ayat ini menerangkan
terhadap golongan perempuan-perempuan
yang disebut mahram, artinya tidak
dapat dikawini oleh seseorang dikarenakan hubungan darah, hubungan persusuan atau hubungan karena perkawinan (seperti
mertua atau menantu).
1. Imam
asy-Syăfi’ĩ berpendapat bahwa nikah dengan wanita hamil sebelum nikah hukumnya
boleh, karena terdapat hadis yang diriwayatkan
oleh Aisyah yang artinya; “Tidak diharamkan perkara haram bila menjadi
halal.”
2. Imam
Abu Hanifah berpendapat hukumnya boleh dengan dua alasan:
a.
Karena wanita zina bukan termasuk wanita yang
haram untuk dinikahi
b. Karena
boleh menikahi anak hasil zina.
3.
Imam
Maliki juga memperbolehkan menikahi wanita zina dengan syarat menunggu iddah selama tiga bulan atau tiga kali haid.
4. Imam Hambali
berpendapat bahwa wanita yang
berzina baik hamil atau tidak, dilarang
dinikahkan oleh laki-laki yang mengetahui keadaannya, kecuali bila terpenuhi dua syarat:
a.
Wanita itu telah habis iddahnya, berlaku baginya masa tunggu sebagaimana layaknya iddah wanita
yang diceraikan atau ditinggal mati, yakni tiga kali haid bagi yang tidak hamil
terhitung sejak ia melakukan zina dan
melahirkan anak bagi wanita yang hamil.
Sebelum iddahnya habis ia belum boleh
menikah dengan laki-laki manapun juga. Pendapat
itu sama dengan Imam Maliki, dan keharamannya itu didasarkan ada hadith diambil dari qiyas yang melarang menyirami kebun orang lain yang sudah mempunyai
tanaman.
b. Wanita
itu telah taubat dari perbuatan maksiat (zina),
apabila ia belum tawbat maka ia tidak boleh dinikahkan dengan laki-laki
manapun juga meskipun telah habis iddahnya.
Menurut KHI
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 53 ayat (1) dinyatakan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya. Ayat ini mengandung
ketegasan hukum dan sekaligus menghapus keragu-raguan umat Islam tentang boleh
atau tidaknya menikahkan wanita hamil karena zina, dan pada Pasal 53 KHI ayat (2) dinyatakan: “Perkawinan dengan
wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu
terlebih dahulu kelahiran anaknya”. Oleh karena pernikahan itu sudah dinyatakan
sah menurut hukum, maka tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandungnya lahir, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 53 ayat (3) KHI sebagai
berikut: “Dengan dilangsungkannya pernikahan pada saat wanita hamil tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir”.
Kesimpulan
Pelaksanaan nikah
wanita hamil sebelum nikah, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para
ulama tentang sah tidaknya pernikahan
wanita hamil sebelum nikah. Di antara para ulama yang mengatakan tidak sah baik dengan lelaki yang menzinainya atau
dengan lelaki selainnya adalah kalangan Maliki dan Hambali. Sedangkan di antara
yang membolehkan pernikahan wanita hamil sebelum nikah adalah ulama dari kalangan asy-Syăfi’ĩ dan Abu Hanifah, dikarenakan belum terkukuhkannya nasab. Para
ulama asy-Syăfi’ĩ mengatakan bahwa akad pernikahan seorang
wanita hamil sebelum nikah, baik dengan
lelaki yang menghamilinya atau dengan yang lainnya adalah sah, namun dimakruhkan baginya untuk menggaulinya
sebelum dia melahirkan apa yang dikandungnya dari hasil perzinaannya. Sedangkan
para ulama Abu Hanifah yang juga
membolehkan pernikahan semacam itu, namun mengharamkan menggaulinya hingga wanita
itu melahirkannya. (Marhajadwal, S.Ag, MA. Penghulu pada KUA Kec.
Samatiga Kab. Aceh Barat)
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Departemen Agama RI, Al-Qur’an danTerjemahnya
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih
Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006)
Abdul Gani Abdullah, Himpunan
Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama (Jakarta: PT. Intermasa,
1991)
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2004)
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di
Indonesia, cet. Ke-1, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1995)
Al-Garib al-Asfihani, Mufradat al
Faz al-Quran, (Dar al Katib al-Arabi)
Aliy As’ad, TerjemahFathul Mu’in,
Jilid-3, (Yogyakarta: Menara Kudus, 1979)
Ali Yafi, Menggagas Fiqh Sosial
(Bandung: Mizan 1994)
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan (Jakarta:
Kencana, 2006)
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafindo Persada, 2004)
Ashari
Abdul Ghofar, Pandangan Islam tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil,
(Jakarta: CV. Gramada, 1987)
Burhan Ashofa, Metode Penelitian
Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004)
Departemen Agama RI., Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan Peraturan Pemerintah Nomor: 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam,
(Jakarta: 2004)
Firdaweri, Hukum
Islam tentang pernikahan (Jakarta: CV. Pedoman Jaya, 1989)
Mahjuddin, Masail al-Fiqh Kasus Aktual Dalam Islam, Cet.
Ke-2, (Kalam Mulia: Jakarta, 2012)
M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur
an, ( Bandung: Mizan, 1996)
-----------------------,
Tafsir Al Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
Wahab, Fiqih Islami Wa Adillatuhu, (Bairut:Darul Fikri, 1989)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar