Status
Jabatan Fungsional Penghulu Terang Benderang.
Oleh:
Marhajadwal, S.Ag, MA
Tugas pokok Kementerian Agama adalah
menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang keagamaan yang salah
satu tugasnya adalah pelayanan pencatatan perkawinan bagi umat Islam. Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan menyebutkan untuk melaksanakan tugas telah ditetapkan
adanya pegawai Pencatat Nikah yang sehari-hari dalam masyarakat dikenal dengan
sebutan “Penghulu”. Keberadaan penghulu sebagai pejabat
dalam pemerintahan telah ada sejak adanya Kerajaan Islam baik di Jawa maupun
daerah luar Jawa termasuk pada pemerintahan Belanda dengan struktur di kala itu
adalah:
a. Tingkat Pusat: Penghulu Agung
b. Tingkat Kabupaten: Penghulu
Kepala (Hoofd Penghulu/ Belanda)
c. Tingkat Kecamatan: Naib.[1]
Secara historis keberadaan
penghulu tidak dapat dilepaskan dari dinamika kehidupan masyarakat dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembangunan secara
menyeluruh. Penghulu adalah Pegawai Negeri Sipil sebagai Pegawai Pencatat Nikah
yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh Menteri
Agama atau Pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/ ruju menurut agama Islam dan kegiatan
kepenghuluan[2] Kementerian Agama adalah salah satu Kementerian
yang telah diberikan Tunjangan Kinerja oleh Pemerintah Republik Indonnesia
sejak Bulan Juli 2014 termasuk Tunjangan Kinerja Penghulu sesuai dengan Jenjang
Jabatan dan Pangkat. Adapun
Jenjang Jabatan dan Pangkat Penghulu dari yang terendah sampai dengan tertinggi
adalah:
a.
Penghulu
Pertama (III/a s.d III/b), Kelas Jabatan Grade 8
b.
Penghulu
Muda (III/c s.d III/d), Kelas Jabatan Grade 9
c.
Penghulu
Madya (IV/a s.d IV/c, Kelas Jabatan Grade 11
Permasalahan terjadi, ketika
penghulu madya diberikan tugas tambahan sebagai Kepala KUA, maka terjadi
ketimpangan sebab kelas jabatan penghulu madya lebih tinggi (Grade 11)
daripada kelas jabatan kepala KUA (struktural) (Grade 8). Hal ini imbas dari Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor
100 Tahun 2000 jo. Nomor 13 Tahun 2002 ditegaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil
yang menduduki Jabatan Struktural tidak dapat menduduki jabatan rangkap, baik
dengan jabatan sktruktural lain maupun dengan jabatan fungsional. Sehingga
Penghulu cenderung lebih memilih Jabatan Fungsional Tertentu sebagai Penghulu,
dan ini permasalahan terjadi dalam skala nasional. Mengingat
Kementerian Agama sangat peduli terhadap permasalahan nasional dimaksud,
berdasarkan Surat Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agama RI, Tanggal:
12 Januari 2016, Nomor: B.II/2/Kp.01.3/00245/2016, Perihal: Status Jabatan
Penghulu dan Kepala Kantor Urusan Agama pada point Nomor 7 disebutkan “Bagi Pejabat Fungsional Penghulu yang
diberi tugas tambahan sebagai Kepala KUA Kecamatan kedudukannya adalah sebagai
Pejabat Fungsional Tertentu (JFT), kenaikan pangkat/jabatannya mempersyaratkan
perolehan angka kredit”. Artinya Peghulu yang diberi tugas tambahan sebagai
Kepala KUA adalah Pejabat Fungsional masuk dalam kelompok Jabatan Fungsional tertentu (JFT) bukan Pejabat Struktural, maka kepadanya diberikan Tunjangan Jabatan Fungsional berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 73 Tahun 2007 dan Tunjangan Kinerja (Tukin) sebagai
Pejabat Fungsional Tertentu (JFT) sesuai dengan Kelas Jabatannya
mamsing-masing. Secara tidak langsung juga
telah terjawab substansi dari PP Nomor 100 Tahun 2000 jo Nomor; 13 Tahun 2002
bahwa Pegawai Negeri Sipil tidak boleh menduduki Jabatan Rangkap sebagai
Pejabat Struktural dan Pejabat Fungsional, semoga Kakankemenag dan Kasi Bimas Islam di Seluruh Indonesia tidak lagi multi tafsir dalam memahami regulasi-regulasi menyangkut dengan Penghulu yang diberi tugas tambahan sebagai Kepala KUA, terima kasih kepada Bapak Menteri Agama RI. dan Sekjen Kementerian Agama RI (Selamat Kepada Penghulu Seluruh
Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar